Without
Words
By
lotusathene
Belum sempat aku menunjukkan.
Belum sempat aku mengatakan. Aku telah kehilangan dia terlebih dahulu. Dia yang
menjadi cinta pertamaku – Luna.
Luna dengan tergesa-gesa
menuruni tangga. Membiarkan pintu kamarnya terbuka. Tanpa alas kaki dan rambut
masih acak-acakan ia berlari menuju pagar tempat kosnya. Sebenarnya bukan pagar
melainkan sebuah dinding. Dinding di sebelah pagar tempat kos Luna. Dengan
kecepatan tinggi, Luna melesat ke arah dinding setelah menaiki dua tangga
kecil. Luna sedikit menjijit untuk melihat ke arah luar. Luar pagar kosnya.
“3..2..1..”ucap Luna sambil
melihat jam tangannya. Tepat jam sembilan, suara sepeda motor terdengar memecah
suasana sunyi pagi hari. Luna tersenyum senang. Orang yang ia tunggu rupanya
sudah datang.
Sepeda motor itu berhenti tepat
di depan rumah bercat pink. Rumah yang berhadapan dengan tempat kos Luna. Sang
pengendara turun dari sepeda motor tersebut. Melepaskan helm yang melekat di
kepalanya. Membuat rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan terlihat. Memperlihatkan
seorang pemuda tampan yang menurut Luna seperti Ian Somerhalder. Luna menahan
napas melihat pemandangan itu. Luna hapal gerakan selanjutnya. Pemuda itu
mengambil napas sejenak lalu melihat ke kaca spion untuk membenahi rambutnya. Luna
tersenyum, tebakan yang ada di pikirannya benar. Luna tentu saja hapal dengan
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan pemuda itu ketika sudah turun dari motornya.
Karena Luna sudah mengamati lelaki muda itu sejak setahun lalu. Tepat, saat
Luna baru saja sampai di Malang dan baru pertama kali menginjakkan kakinya di
tempat kosnya. Dan, saat itulah, Luna merasa ia jatuh cinta pada pandangan
pertama kepada pemuda itu.
Pemuda itu tampak gagah dengan
jaket abu-abu dan kaos hitam bermotif abstrak serta celana jeans yang sesuai
dengan tubuhnya. Menurut Luna, lelaki itu mirip Ian Somerhalder, aktor
Hollywood favoritnya. Tingginya, wajahnya, rambutnya, semuanya kecuali satu.
Tatapan matanya. Tatapan mata pemuda itu begitu tajam seperti elang. Namun,
begitu menenangkan.
Luna tidak menyadari bahwa
sedari tadi ia menahan napas melihat pemuda itu. Luna tidak pernah tahu nama
pemuda itu dan tidak berusaha mencari tahu. Yang Luna tahu, pemuda itu selalu
datang setiap hari. Dari jam sembilan pagi sampai tiga sore. Luna seperti
seorang spy.
Deo dangdanghage neon Mr. Mr~
Suara ringtone ponsel Luna berbunyi keras.
Membuat Luna maupun pemuda itu terkejut. Luna segera merutuki dirinya yang lupa
membuat ponselnya dalam mode silent.
Luna melihat sekilas ke arah pemuda itu. Berharap pemuda itu tidak mendengar
ringtone ponselnya. Namun, harapannya tidak terkabul. Langkah pemuda itu
terhenti, padahal Luna yakin bahwa pemuda tadi sudah mulai berjalan akan masuk
ke dalam rumah bercat pink itu. Luna menggigit bibir bawahnya. Takut jika
pemuda itu memergokinya.
Tepat setelah itu, pemuda itu berbalik dan
tatapan matanya langsung bersirobok dengan tatapan mata Luna. Mulut Luna
menganga. Gawat! Ia ketahuan. Luna langsung turun dan berlari secepat kilat
menuju kamarnya yang ada di lantai dua.
Luna ngedumel sendiri setelah sampai kamar. Ia
mengutuk siapapun yang berani meneleponnya disela-sela kegiatan ‘mengintip’-nya.
Padahal biasanya setelah Luna puas melihat pemuda itu, ia akan lompat-lompat
kegirangan dan berteriak-teriak sendiri. Hari ini berbeda. Sepertinya ia sedang
sial.
“Gara-gara kamu nih, aku hampir ketahuan!”cerocos
Luna pada sahabatnya, Rere saat mereka berada di kantin. Sebagai pemberitahuan,
yang menyebabkan ponsel Luna berbunyi adalah telepon dari Rere yang ingin
ngasih informasi kalau praktikum yang seharusnya jam tiga sore diajukan menjadi
jam sepuluh pagi.
Rere yang mendengar itu hanya nyengir kuda.
Membuat Luna yang baru saja duduk di meja kantin menatapnya sebal.
“Tapi, tadi nggak ketahuan kan?”tanya Rere. Luna
semakin menatapnya sebal membuat Rere menelan ludah. Oke, Rere salah mengambil
pertanyaan.
“Dia melihatku Rere!”teriak Luna keras
sampai-sampai Rere harus menutup telinganya. Rere berdoa supaya besok
telinganya masih berfungsi.
“Melihat bukan berarti dia tahu kan?”protes Rere
sambil mengelus telinganya sayang. Luna terdiam mendengar kata-kata Rere.
Memang ada benarnya sih.
“Aku nggak tahu. Semoga aja dia nggak tahu.”jawab
Luna lirih. Rere hanya bisa mengusap-usap pundak sahabatnya itu. Rere tahu
bahwa sahabatnya ini benar-benar jatuh cinta pada pemuda itu.
Tik tik tik tik.....
Hujan turun ketika Luna sedang berjalan pulang.
Tidak terlalu deras tetapi cukup untuk membuat baju basah. Beruntung Luna sudah
siap membawa payung di dalam tasnya. Sehingga ia tidak perlu susah-susah cuci
baju malam-malam hanya karena bajunya basah.
Luna tersenyum ketika hujan turun. Ia menyukai
hujan. Menurutnya, karena di saat hujan-lah orang-orang akan memakai payung
yang berwarna-warni. Seperti bunga-bunga mekar dan berwarna indah di bawah
langit yang sedang kelabu. Sungguh pemandangan indah.
Luna berjalan pelan takut terpeleset. Saat sudah
mendekati pagar kosnya, Luna terdiam. Ia sedang melihat objek di depannya.
Pemuda yang ia sukai. Pemuda itu terlihat baru saja keluar dari rumah bercat
pink itu. Dia juga mengenakan jas hujan namun tidak sampai menutupi rambutnya,
membuat rambutnya basah. Wajah putihnya semakin putih. Mungkin karena efek
dinginnya hujan.
Luna mengenggam erat payungnya. Ingin sekali ia
memayungi pemuda itu. Pemuda itu menuju sepeda motornya yang dia parkir di depan
pagar rumah bercat pink itu. Sebelum pemuda itu memakai helmnya, dia melihat
sekilas ke arah Luna. Luna terkesiap. Ia menahan napas. Untuk kedua kalinya
tatapan mereka bertemu. Awalnya pemuda itu diam lalu perlahan dia
menyunggingkan senyumnya kepada Luna. Sebagai sapaan kecil untuk Luna. Jantung
Luna melompat-lompat mendapat senyuman itu. Dengan agak gugup, Luna ikut
tersenyum. Hanya senyuman kecil untuk membalas sapaan pemuda itu. Pemuda itu
hanya mengangguk dan memakai helmnya. Segera menyalakan motor dan melaju secara
perlahan melewati Luna yang masih terdiam.
Sepeninggal pemuda itu, napas Luna kembali
teratur. Ia masih tidak percaya. Pemuda itu tersenyum padanya. Pipinya
tiba-tiba merona merah. Luna mengadahkan kepalanya menatap langit yang sedang
kelabu. Lalu tersenyum.
Inilah salah satu
alasanku kenapa aku menyukai hujan, batin Luna.
Luna berjalan menyusuri alun-alun kota Malang
sambil mendengarkan lagu lewat earphone.
Matanya mencari tempat duduk yang kosong dan nyaman untuk ia duduki. Ia
kemudian melihat sebuah tempat duduk dari semen yang berada di bawah pohon yang
rindang. Luna tersenyum dan berlari secepat kilat sebelum tempat duduk itu di
tempati orang lain.
Ketika sampai, Luna merentangkan tangannya.
Kemudian merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah novel romance favoritnya. Luna membuka halaman yang sudah ia tandai tadi
malam. Telinganya ia tutup dengan earphone.
Mendengarkan lagu-lagu instrumental agar ia bisa larut dalam cerita novel
tersebut.
Luna terlalu fokus sehingga tidak menyadari
adanya pemuda yang baru saja datang menenteng semangkuk mi ayam dan langsung
duduk di sebelahnya. Pemuda itu melirik Luna sekilas. Dia mengernyitkan
dahinya. Seperti pernah melihat Luna, tetapi dimana?
Luna merasa ada yang memperhatikannya sehingga ia
menutup novelnya dan melepas earphone-nya.
Luna menolehkan kepalanya. Matanya membulat melihat siapa yang sedang duduk di
sebelahnya sekarang. Pemuda yang ia sukai!
Pemuda itu juga menatap Luna. Kemudian tersenyum
manis ke arah Luna membuat Luna susah menelan ludah. Kembali menahan napasnya.
“Hei, kita bertemu lagi rupanya.”ucap pemuda itu.
Suaranya sangat merdu dan manly seperti penampilannya.
Luna hanya diam. Ia tidak mampu menjawab.
Mulutnya masih terkatup rapat. Ia masih belum percaya.
“Masih ingat aku?”tanya pemuda itu lagi. Luna
dengan gugup mengangguk sebagai jawaban.
Pemuda itu tertawa kecil melihat tingkah Luna.
Mangkok mi ayamnya ia letakkan dia sebelahnya.
“Kamu sendiri ke sini?”tanya pemuda itu lagi.
Matanya menatap langsung ke arah Luna. Membuat pipi Luna memanas.
“Ya, kamu?”Luna mulai berani untuk membuka suara.
Pemuda itu hanya mengangguk. “Kamu ada acara apa
ke sini?”
“Cuman rutinitas setiap Sabtu. Baca novel sambil
dengerin musik di sini.”
Mata pemuda itu membulat, kaget. “Setiap Sabtu?”
Luna hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Kok kita nggak pernah ketemu ya? Padahal, aku
juga setiap Sabtu ke sini.”
“Oh ya? Mungkin waktunya aja yang nggak tepat.”
“Kamu benar.”jawab pemuda itu. Hening untuk
selanjutnya. Luna kembali membaca novelnya dan pemuda itu langsung menyantap mi
ayamnya.
Luna tidak fokus saat membaca novel, kemudian ia
berdeham. “Kamu sendiri ada acara apa ke sini?”
Pemuda itu menghentikan sejenak kegiatan
makannya. “Cuman makan mi ayam sama...nenangin diri.”jawab pemuda itu sambil
tersenyum.
Luna hanya mengangguk. Dan kembali fokus membaca
novelnya.
“Kamu anak kos depan rumah itu kan?”tanya pemuda
itu kembali setelah kegiatan makan mi ayamnya selesai. Luna menatap pemuda itu
lalu mengangguk.
“Oh pantas aja aku familiar sama kamu. Kamu yang
kemarin berdiri di depan pagar pas hujan kan?”Luna kembali mengangguk sebagai
jawaban. Dalam hati, Luna kagum dengan ingatan pemuda itu.
“Terus yang ngintipin aku pas aku baru dateng
kan?” Pertanyaan terakhir pemuda itu membuat pipinya merah merona. Sial! Ia ketahuan
ternyata.
“Si-siapa yang ngintip?”tanya Luna dengan gugup.
Pemuda itu terkekeh, “Ngaku aja deh. Kamu kayaknya
nggak jago bohong.”
Muka Luna semakin merah. “Nggak! A-aku ke-kemarin
nungguin tu-tukang bubur kok. Iya nungguin tukang bubur!”
Pemuda itu semakin tertawa, membuat wajah Luna
memberengut kesal. Melihat Luna yang (memang) sepertinya kesal, pemuda itu
mulai meredakan tawanya. Dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Sorry, hanya bercanda.”ucap pemuda itu. Luna
mengambil napas untuk meredakan debar jantungnya. Lalu, tersenyum ke arah
pemuda itu. Pemuda itu ikut tersenyum melihat senyum Luna.
Pemuda itu mengulurkan tangannya, “Danis.”
Luna mengerjap-ngerjapkan matanya. Tidak percaya
bahwa pemuda pujaannya memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. Luna berdeham
lalu membalas uluran tangan pemuda itu.
“Luna.”
Mereka masih terus berjabat tangan. Luna merasa
tangan kecilnya digenggam erat oleh tangan pemuda itu. Membuatnya merasa aman
ketika berada di dekat pemuda itu.
Kemudian mereka melanjutkan pembicaraan mereka.
Danis orang yang dewasa dan humoris. Dari pembicaraan itu, Luna jadi tahu tentang
Danis. Danis sudah bekerja, sebagai seorang manager di sebuah bank di daerah
Malang. Dia tinggal di daerah Soekarno-Hatta. Sedangkan rumah bercat pink itu
adalah rumah yang sudah Danis anggap sebagai ibunya. Danis sebatang kara, fakta
yang tidak diperhitungkan oleh Luna. Danis berumur 26 tahun, enam tahun lebih
tua dari Luna. Danis juga suka membaca novel sama seperti Luna, tapi dengan
genre action.
Luna dan Danis terus mengobrol. Saling lempar
candaan. Tanpa mereka sadari, mereka mulai akrab satu sama lain. Senja sore
menjadi saksi keakraban mereka.
Pertemuan Luna dan Danis terus berlanjut. Namun,
mereka selalu bertemu di tempat yang mereka janjikan. Danis tidak bisa
menjemput Luna karena alasan tertentu. Luna hanya memaklumi, ia tahu pasti
Danis sangat sibuk.
Mereka kadang menghabiskan waktu di museum
Brawijaya. Atau mungkin mencari dan membeli novel di Gramedia dekat alun-alun
Malang. Yang selalu dilanjutkan dengan makan mi ayam langganan Danis. Mi ayam
yang menurut Danis ter-enak di seluruh daerah Malang. Luna percaya setelah
membuktikannya sendiri.
Hari ini Luna dan Danis berencana ke MATOS. Danis
sedikit mengernyitkan dahi ketika melihat dekorasi serba pink di Matos.
“Ada apa Kak?”tanya Luna yang melihat dahi Danis
mengerut. Info tambahan, setelah Luna tahu Danis lebih tua darinya, Luna
memutuskan untuk memanggil Danis kakak. Supaya lebih akrab.
“Tidak, hanya aneh melihat suasana serba pink.”ucap
Danis. Mendengar itu, Luna hanya tertawa. Danis menatapnya heran, seolah
bertanya ‘ada apa?’
“Kak, besok
itu hari Valentine, makanya dekorasinya serba pink.”jelas Luna di sela-sela
tawanya. Danis hanya manggut-manggut mendengar penuturan Luna.
Setelah itu, mereka berdua langsung melangkah
masuk. Dan mengarahkan kaki mereka ke lantai atas. Menuju Timezone. Danis
berjanji akan mengajak Luna ke Timezone, dan tentu saja Danis yang mentraktir
Luna.
Danis dan Luna mengawali dengan bermain mobil
balap. Disusul dengan bermain basket dan juga karaoke kecil-kecilan. Luna dan
Danis tertawa bersama.
Setelah merasa sudah cukup, Danis mengajak Luna
ke foodcourt. Lagi-lagi Danis yang
mentraktir Luna. Luna memesan steak dan Danis memesan masakan Jepang. Selagi
menunggu pesanan datang, mereka mulai pembicaraan.
“Kak, tumben kakak baik banget nraktir-nraktir
aku segala. Lagi ulang tahun ya?”tanya Luna. Danis tertawa mendengar pertanyaan
Luna.
“Nggak Lun, aku lagi seneng aja sih.”jawab Danis
disela-sela tawanya.
“Seneng kenapa?”tanya Luna lagi.
“Kamu kepo banget ya, kayak mendiang adikku.
Haha. Kamu persis banget sama dia.”jawab Danis sambil terkekeh. Luna hanya
tersenyum. Ia sudah terbiasa bila disamakan dengan mendiang adik Danis yang
bernama Nana. Nana meninggal bersama kedua orang tua Danis dalam kecelakaan
pesawat.
“Kepo itu tanda perhatian lho, Kak.”sahut Luna
dengan tatapan menerawang ketika menatap Danis. Luna berharap Danis peka dengan
kata-katanya.
“Iya deh iya... ada hal yang membuatku seneng
hari ini.”
“Hal apa?”
“Rahasia, kalau kamu pengen tahu, besok dateng
aja ke alun-alun tempat biasa kita ketemu.”jawab Danis lantas menarik hidung
Luna. Luna hanya meringis. Dadanya berdetak cepat.
“Wajib ya?”tanya Luna setelah berhasil
menetralkan detak jantungnya.
“Harus. Kamu pasti suka deh, Lun.”jawab Danis.
Luna hanya mengangguk-angguk. Dalam hati, ia bertanya-tanya apa yang disiapkan
Danis untuknya.
Besoknya, Luna benar-benar datang. Ia mengeratkan
pegangan tangannya pada payung miliknya. Hari ini cuaca sedang hujan. Padahal hari
adalah hari Valentine. Luna tidak keberatan, menurutnya hujan adalah
keberuntungannya. Hari ini, Luna juga membawa kado Valentine untuk Danis. Luna
juga akan mengungkapkan perasaannya pada Danis selama ini.
Luna melangkahkan kakinya dengan hati-hati agar
tidak jatuh terpeleset. Matanya menyusuri semua daerah alun-alun. Berharap
menemukan Danis. Danis berjanji akan datang pukul sembilan. Luna tersenyum
sendiri. Jam sembilan. Ia suka ketika waktu sudah menunjukkan pukul itu.
“LUNAAAA.”teriak seseorang yang membuat Luna
terkejut. Dada Luna berdetak, ia mengenal suara ini. Ini suara Danis. Luna
menggigit bibir bawahnya. Menutup matanya sejenak. Ia sangat gugup bertemu
dengan Danis. Semakin gugup ketika ia ingat akan mengungkapkan perasaannya
kepada Danis.
Dengan detak jantung yang tak karuan, Luna
membalikkan badan. Menghadap kepada Danis. Namun, matanya membulat ketika Danis
datang tidak sendirian. Tetapi, dengan seorang gadis. Danis melambaikan sebelah
tangannya, tangan satunya ia gunakan untuk memegang payung. Memayungi dirinya
dan gadis yang berada di sebelahnya.
Napas Luna tercekat. Luna menyingkirkan pikiran
negatif yang tiba-tiba hinggap di otaknya. Mungkin itu temannya, pikir Luna.
Luna mencoba tersenyum ketika Danis dan gadis tersebut berjalan ke arahnya.
“Aku kira kamu nggak dateng.”ucap Danis dengan
senyum yang merekah. Luna jarang sekali menemukan Danis tersenyum seperti itu.
“Mana mungkin aku nggak dateng, Kak.”jawab Luna
dengan nada lirih dan berusaha tersenyum meski pikirannya masih menerka-nerka
siapa gadis yang datang bersama Danis.
“Oh iya kenalkan, ini Bella, istri aku.”ucap
Danis yang membuat jantung Luna melemas. Mata Luna membulat, terasa panas.
Hatinya mencelos. Genggaman tangannya pada payung miliknya sedikit melonggar.
Luna menggigit bibir bawahnya dengan keras, berusaha menahan tangisnya yang
siap tumpah.
Luna tidak menyangka, bahwa Danis sudah menikah.
Selama ini dia tidak pernah bercerita apapun tentang itu. Luna merasa bodoh.
Seharusnya, Luna tahu bahwa Danis sudah menikah atau sudah mempunyai kekasih.
Gadis bernama Bella itu tersenyum ke arah Luna.
Mengulurkan tangannya. Luna pun membalasnya dengan hati yang terkoyak.
Tersenyum simpul meski hatinya diremas.
“Dia cantik, seperti yang kamu ceritakan.”ucap
Bella. Suaranya begitu lembut. Pantas saja Danis bisa langsung bertekuk lutut.
Luna tersenyum miris memikirkan hal itu.
“Dia sama seperti Nana kan? Cuman sedikit lebih
dewasa. Mereka berbeda.Tapi, aku sudah menganggapnya sebagai adikku sendiri.”balas
Danis. Membuat hati Luna semakin tercabik-cabik. Danis hanya menganggapnya
sebagai adik. Seharusnya Luna sudah tahu sejak awal. Ia bukan apa-apa, ia hanya
dianggap adik tidak lebih. Napas Luna mulai terputus-putus.
“Kamu kemarin tanya kan Lun, kenapa aku seneng
banget? Itu karena Bella mau rujuk sama aku. Selama ini aku gagal menjadi
seorang suami yang baik, sibuk kerja, tanpa peduli sama Bella. Namun, setelah
bertemu kamu, aku sadar bahwa seorang wanita apalagi seorang istri memang harus
dijaga bukan ditelantarkan. Aku membuktikkan itu sama Bella, dan ia luluh.
Makasih banyak, Luna. Kamu kasih aku pengalaman berharga.”jelas Danis sambil
mengacak pelan rambut Luna. Membuat lutut Luna melemas. Mulutnya terkatup
rapat. Tak sanggup membalas ucapan Danis.
“Kamu cantik, hatimu baik, jarang ada gadis
seperti kamu, Luna.”ucap Bella sambil memeluk Luna. Luna berusaha keras agar ia
tidak menangis. Ia tidak ingin menunjukkan ia sedang terluka. Tidak.
Setelah, Luna dan Bella sudah selesai berpelukan.
Tiba-tiba ada seorang gadis kecil yang datang menghampiri mereka bertiga. Gadis
kecil itu dipayungi oleh ibu-ibu setengah baya.
“Ma, Pa... kok lama, Nila, bosen di mobil telus..”ucap
gadis kecil itu polos sambil meminta untuk digendong oleh Danis. Hati Luna yang
sudah hancur semakin hancur. Danis sudah mempunyai anak. Astaga, kemana saja ia
selama ini? Tidak mengenal secara mendalam kehidupan Danis dan seenaknya jatuh
cinta pada suami orang.
“Luna, kenalkan ini Nila, putri aku sama Bella.
Nila, kenalan gih sama tante Luna.”kata Danis sambil menggendong Nila dan
mencium pipi chubby gadis kecil itu.
“Alo tante cantik. Aku Nila. Salam kenal.”ucap
Nila dengan nada riang. Mendengar itu, Luna hanya tersenyum kecil. Nila begitu
mirip dengan Bella, namun matanya sama persis seperti Danis.
“Ini ibu aku, Lun. Mertua Danis. Yang rumahnya
bercat pink depan kos kamu.”kata Bella memperkenalkan ibu-nya. Luna hanya
tersenyum kecil, dan mencium punggung tangan ibu Bella sebagai sopan santun.
Sekarang terjawab sudah. Danis sering ke rumah itu untuk membujuk Bella yang
kemungkinan kabur ke rumah ibunya. Dada Luna semakin sesak. Ibu Bella juga
tersenyum membalas senyuman Luna.
“Oh iya Luna, aku juga ingin kasih tahu. Mungkin,
kita nggak bakal ketemu lagi, Lun.”kata Danis sambil menatap Luna dengan
pandangan meminta maaf. Luna menahan napasnya, menunggu Danis melanjutkan
kata-katanya.
“Besok, kami semua akan berangkat ke Bali. Aku
dipindah tugaskan kesana, maaf baru kasih tahu kamu sekarang, Lun.”ucap Danis
penuh sesal. Air mata Luna siap merebak. Danis kemudian maju lalu memeluknya
dengan satu tangannya yang bebas. Membuat Luna tidak bisa menahan tangisnya.
Luna menumpahkan tangisnya di bahu Danis. Danis menepuk-nepuk punggung Luna.
Berusaha menenangkan Luna. Luna semakin terisak. Ini pertama kalinya Danis memeluknya,
pelukan pertama sekaligus pelukan terakhir.
Danis melepaskan pelukannya, “Jangan menangis,
suatu saat kita akan bertemu lagi. Aku tidak menyesal bertemu denganmu, Luna.
Kamu bener-bener adik yang aku sayangi.”ucap Danis sambil mengusap air mata
Luna. Hati Luna semakin sakit mendengarnya. Ia tahu ia sudah tidak bisa mendapatkan
dan memiliki Danis, tetapi kenapa takdir membuatnya berpisah dengan Danis.
Membuatnya tidak bisa melihat laki-laki yang sangat ia cintai.
“Sampai jumpa, Luna.”ucap Danis lirih sambil
menarik pelan hidung Luna untuk terakhir kalinya. Bella mengusap bahu Luna
dengan pandangan sedih. Sedangkan Nila melambaikan tangannya kepada Luna. Ibu
Bella hanya mengangguk sebagai ucapan perpisahan lalu menggandeng tangan mungil
Nila. Keluarga kecil itu menjauh. Meninggalkan Luna dibalik hujan yang deras.
Luna tidak sanggup melihat punggung Danis yang semakin menjauh. Ia belum siap
kehilangan Danis, ia ingin berteriak kepada Danis agar tidak pergi. Memeluknya
erat agar dia masih mau tetap di sini. Di sampingnya. Namun, ia tahu. Itu tidak
mungkin.
Luna menjatuhkan payung dan juga kado untuk Danis
ketika mobil Danis sudah berjalan pelan meninggalkannya. Luna kemudian
terhuyung dan duduk di sebuah tempat duduk yang terbuat dari semen. Tangis Luna
semakin pecah ketika menyadari tempat ini adalah tempat pertama kali ia dan
Danis saling berkenalan dan memulai pembicaraan. Luna menutup wajahnya dengan
kedua tangannya. Bahunya terguncang keras. Ia belum siap. Ia harap ini hanya
mimpi. Dadanya kembali sesak. Tangisnya tak kunjung berhenti. Luna tidak peduli
jika tubuhnya basah kuyup. Tidak peduli jika ia sakit lalu mati. Hatinya sudah
mati, semenjak Danis, cinta pertamanya, meninggalkan dirinya. Tangis Luna
semakin kencang.
Belum sempat ia mengungkapkan. Belum sempat ia
menunjukkan. Namun, ia sudah kehilangan. Ia terlambat. Kalau saja ia mencari
tahu tentang Danis sejak awal, mungkin jadinya tidak akan seperti ini. Ia tidak
akan jatuh cinta terlalu dalam kepada Danis.
Luna masih terisak. Hatinya masih sakit. Ia sangat
terluka, dan ia sendiri tidak tahu kapan luka itu akan sembuh tanpa kehadiran
Danis. Walau pasti akan terasa perih mengetahui Danis sudah dimiliki oleh orang
lain. Namun, akan lebih sakit, jika Luna tidak bisa melihat Danis sama sekali.
Ia sudah terbiasa dengan kehadiran lelaki itu.
Luna berdiri dengan lemas. Mengadahkan kepalanya
menatap langit yang kelabu. Sekelabu hatinya. Ia pertama kali bertemu Danis di
saat hujan, tetapi di saat hujan juga Luna kehilangan Danis. Pemilik hatinya.
Dengan perlahan, Luna beranjak dari tempat itu.
Tempat kenangannya bersama Danis. Luna meninggalkan tempat itu seolah-olah ia
juga meninggalkan semua kenangannya bersama Danis. Langkahnya gontai dan tak tentu
arah. Pandangan matanya kosong, sekosong hatinya sekarang.
Hadiah untuk Danis dan payung milik Luna
tergelatak begitu saja di dekat tempat itu. Diam tak bergerak di tengah hujan.
Menjadi saksi bisu cinta Luna pada Danis yang belum terungkapkan. Menjadi
simbol kenangan antara Luna dan Danis.
owalah ris... ris... mbok yo sing happy ending sithik to :(
BalasHapussip ris :) kamu banget pokok e iki
duh, sek belum nemu feel bt happy ending -_-
BalasHapuswahh iyo ta? sek enek unsur koreane nggak?
makasih ya udah komennn <3