Yang
Hilang di Akhir Juni
By
lotusathene
Jika
aku tahu ini untuk terakhir kalinya, aku akan mengungkapkannya. Aku tidak ingin
kau membalasnya. Aku hanya ingin kau tahu untuk yang terakhir kali. – Author.
Cerita ini adalah kisah yang
tak akan pernah kulupakan. Meski aku mencoba melupakan kisah ini. Kisah yang
tidak pernah aku tahu apakah ini termasuk kisah cinta. Sampai sekarang. Yang
aku tahu, kisah ini adalah kisah antara seorang lelaki dan perempuan yang tidak
pernah bertemu. Hanya lewat pesan singkat di ponsel. Tetapi, mereka menyebut
hubungan mereka persahabatan. Sahabat yang baru berkenalan singkat. Sahabat
yang tanpa sengaja berkenalan. Sahabat yang langsung begitu saja pergi.
Ini kisahku. Kisahku saat aku
duduk di bangku SMP. Dimana aku sudah mengenal arti sebuah cinta. Cinta yang
aku tunggu. Ya, aku jatuh cinta pada teman kecilku sendiri. Yang sayangnya
cintaku bertepuk sebelah tangan meski aku menunggunya. Meski aku menunjukkan
rasa cintaku padanya. Meski aku berkata jujur padanya. Ia tak pernah sekalipun
melihatku. Hubungan kami hanya sebatas tetangga. Tidak lebih. Meski sempat
dekat dengannya bukan berarti ia menyukaiku. Meski aku berharap bahwa ia bisa
melihatku. Lebih dari seorang teman.
Kemudian, lelaki itu muncul.
Diantara kerumitan perasaanku pada cinta pertamaku. Muncul tanpa disengaja.
Tanpa seizinku. Ia datang malam itu. Hanya lewat sebuah sms singkat. Aku masih
ingat sekali. Hari itu malam minggu. Dimana aku menghabiskan seluruh waktuku
hanya di rumah. Tanpa keluar kemanapun. Ponselku bergetar menandakan ada sms
masuk. Aku kira itu dari sahabatku, ternyata itu dari sebuah nomor yang tidak
aku kenal. Aku sedikit lupa apa yang ia tanyakan waktu itu. Karena kejadian itu
sudah lebih dari tiga tahun yang lalu.
Aku kemudian bertanya padanya,
“Ini siapa?”. Tak berapa lama lelaki itu membalas, menjawab pertanyaanku yang
menanyakan namanya. Namanya Arga. Entah kenapa aku merasa tidak asing dengan
nama itu. Seperti aku pernah mendengar namanya di suatu tempat. Kemudian, aku
kembali bertanya, “dapet nomorku dari siapa?”. Agak sedikit lama dia membalas.
Arga berkata bahwa ia menemukan nomorku di salah satu pesan miliknya. Pesan
dari pujaan hatinya. Pujaan hatinya yang dikenalkan oleh sahabatnya. Aku
terdiam. Mengingat sesuatu. Kemudian dia membalas lagi, bahwa dia orang yang
disukai oleh temanku yang bernama, Yessy. Ah, dan aku teringat.
Pantas aku tak asing dengan
namanya. Kemudian aku menjawab, bahwa aku sudah mengerti dan paham. Yessy
pernah meminta pulsaku untuk membalas sms orang yang dia suka. Dan itu adalah
Arga. Dari ketidak sengajaan itu, aku mulai berkomunikasi dengannya. Arga
sangat baik. Tipe cowok yang benar-benar idaman wanita. Selera humornya tinggi.
Dan ia juga tergabung dalam sebuah band di Surabaya. Entah kenapa aku bangga
mempunyai ‘teman dadakan’ sepertinya. Dia selalu menemaniku. Kapanpun ketika
dia ada waktu lengang. Pantas Yessy sangat setuju dijodohkan dengannya.
Dalam hati, aku sempat khawatir.
Aku takut Yessy mengira aku menusuknya dari belakang. Aku takut Yessy
berpikiran macam-macam tentangku. Ini memang kesalahanku juga, aku belum
bercerita pada Yessy. Bukan apa-apa, tetapi Arga bilang ia sudah memberitahu
Yessy. Setidaknya aku merasa lega.
Arga mengingatkanku pada cinta
pertamaku. Nama mereka hampir sama. Hobi mereka hampir sama. Wajah mereka
hampir sama, aku pernah ditunjukkan oleh Yessy bagaimana rupa Arga. Serta
tanggal mereka lahir. Arga lahir tanggal 30 Juni. Sedangkan, cinta pertamaku
lahir tanggal 30 April. Entah ini sebuah kebetulan atau takdir. Arga membuatku
sedikit lupa pada cinta pertamaku. Dengan segala kekonyolan yang ia buat. Aku
bahkan menjulukinya Mr.Oh. Karena dia selalu saja berkata Oh dan Oh. Haha.
Pernah suatu malam, ia
meneleponku. Namun, sayangnya aku tidak mengangkatnya. Aku sedang pergi keluar
bersama sahabatku waktu itu. Ingin aku meneleponnya. Tapi, aku takut. Tidak mungkin
seorang perempuan menelepon seorang laki-laki terlebih dulu. Itu sangat
memalukan. Akhirnya, aku memendam hasratku untuk meneleponnya. Untuk
mendengarkan suaranya.
Sampai hari itu tiba. Pagi yang
cerah saat keluargaku ingin pergi menghadiri sebuah acara. Acara yang tidak
ingin aku hadiri. Yessy datang ke rumahku menggunakan sepedanya. Raut wajahnya
tidak bisa ditebak. Namun, begitu aku merasa ini tidak beres.
“Kamu ada acara?”tanya Yessy
kepadaku setelah dia turun dari sepedanya.
“Tidak, ada apa?”tanyaku balik
padanya. Dengan nada yang pura-pura tenang.
“Aku ingin membicarakan sesuatu
padamu. Bisa kita bicara.”jawab Yessy. Akupun mengangguk menyanggupinya. Yessy
dan aku berbicara di luar rumahku. Aku satu perumahan dengannya.
“Kenapa kamu nggak bilang kalau
kamu sms-an sama Arga?”tanya Yessy blak-blakan. Sudah kuduga ia pasti akan
menanyakan hal ini. Aku menatapnya. Sedikit agak takut. Takut ia berpikir aku
menusuknya. Aku tidak menyangka Arga belum bercerita soal ini pada Yessy.
“Bukan aku nggak mau bilang.
Tapi, aku mengira Arga sudah mengatakannya padamu.”jawabku. Itu memang
kebenaran yang harus Yessy ketahui agar dia tidak menyudutkanku.
“Tapi, Arga nggak bilang
apa-apa.”jawabnya dengan nada yang agak tinggi. Oke, sepertinya aku dalam
masalah besar. Aku mengambil napas dan mengeluarkannya perlahan. Berusaha
menjelaskan dengan tenang duduk perkaranya.
“Aku minta maaf karena nggak
beritahu kamu. Tapi, sungguh aku ingin bercerita. Namun, Arga bilang bahwa ia
sudah bercerita padamu. Jadi, aku hanya diam. Maafkan aku.”ucapku dengan nada
penyesalan.
Yessy terdiam sebentar,
kemudian ia bertanya, “Bagaimana bisa kamu kenal Arga?”. Aku terdiam sebentar.
Menyusun memori dan kata-kataku untuk menjelaskan perkenalan ketidak sengajaan
antara aku dan Arga.
Dan mulailah aku bercerita.
Dari awal sampai akhir. Aku berusaha tidak mengurangi ataupun menambahi pernyataanku.
Aku hanya ingin berkata yang sebenarnya.
Yessy terdiam agak lama setelah
ceritaku selesai, kemudian ia menghela napas, “Padahal, aku sudah menghapus
nomornya dari ponselmu. Aku tidak memikirkan kemungkinan bahwa ia akan
menyimpannya. Maafkan aku.” Aku hanya tersenyum mendengar permintaan maaf Yessy.
Dan mengangguk. Kemudian, setelah itu pembicaraan Yessy dan aku selesai. Yessy
memutuskan pulang. Dan aku harus membantu kedua orang tuaku untuk bersiap-siap
menghadiri sebuah acara.
Tidak berselang lama, ketika
orang tuaku akan berangkat, Yessy datang kembali. Kali ini dalam keadaan yang
berbeda. Matanya dipenuhi oleh air mata. Aku panik setengah mati. Aku pun
menghampirinya.
“Ada apa? Kok kamu
nangis?”tanyaku dengan nada panik yang tidak terelakkan.
“Arga..Arga...”jawabnya dengan
sesenggukan. Aku mengernyitkan dahi. Ada apa dengan Arga?
“Iya, Arga kenapa?”tanyaku
mulai mendesaknya. Yessy terdiam sebentar untuk mengambil napas. Mengatur isak
tangisnya.
“Arga baru saja mengirimkan sms
bahwa aku harus menjauhinya. Dia bilang dia itu playboy. Dia nggak ingin aku
tersakiti oleh sifat playboynya. Karena itu dia minta aku menjauhinya. Aku
tidak percaya dia seperti itu. Aku yakin dia cowok yang baik.”jelas Yessy
panjang lebar sambil menunjukkan isi sms dari Arga. Aku tertegun. Itu tidak
mungkin. Aku sependapat sama Yessy. Arga cowok yang baik.
Tiba-tiba saja, kedua orang
tuaku keluar. Aku panik setengah mati melihat raut wajah khawatir dari Ibu dan
Ayahku yang melihat Yessy menangis.
“Ada apa?”tanya Ibuku dan
berjalan mendekati kami. Aku melirik Yessy sebentar. Dari tatapan matanya, ia
memintaku untuk berbohong. Aku pun hanya mengangguk.
“Ngg, nggak bu. Yessy nangis
karena habis bertengkar sama kakaknya.”jawabku berbohong. Ibuku hanya
manggut-manggut, dan memintaku membawa Yessy ke dalam rumah. Sementara beliau
akan berangkat menghadiri pesta.
Aku dan Yessy menuju ke lantai
dua rumahku. Tempat biasa aku menghabiskan waktu bercurhat-curhat ria bersama
teman-temanku. Sesampainya di atas, aku menghubungi sahabatku sekaligus teman
Yessy, Ines. Aku mulai menenangkan Yessy sambil menunggu Ines datang ke
rumahku.
Tak berapa lama, Ines datang
dan langsung menuju ke lantai atas. Ia pun juga sama paniknya sepertiku melihat
Yessy menangis. Kemudian, secara bergantian aku dan Yessy bercerita tentang
masalah yang Yessy hadapi kepada Ines. Ines menangguk mengerti.
“Coba tanyakan pelan-pelan
padanya, ya agak dengan sedikit mendesak. Kenapa dia berkata seperti itu.”kata
Ines memberikan solusi yang langsung diterima oleh Yessy. Aku juga berusaha sms
Arga. Namun, ia tidak membalas pesanku sama sekali. Tidak seperti biasanya.
Setelah 30 menit menunggu, aku
dan Ines menoleh kaget ke arah Yessy yang kembali menitikkan air mata. Aku dan
Ines bertubi-tubi bertanya padanya apa yang terjadi.
“Arga b-bilang dia..dia m-minta
aku jauhi dia...k-karna...k-karna A-Arga punya pe-penyakit jantung.”jelas Yessy
dengan nada sesenggukan. Aku terkejut. Arga? Terkena penyakit jantung? Astaga
benarkah itu? Yessy juga mengatakan bahwa ia membalas pesan agak lama karena ia
sedang di rumah sakit untuk periksa rutin. Aku tertegun, pantas ia tidak
membalas pesanku. Aku berusaha menghilangkan kesedihanku. Kesedihan yang
tiba-tiba melandaku.
“Bilang sama dia itu nggak akan
jadi masalah. Kamu akan tetap di sampingnya, mendukung dia.”kata Ines kepada
Yessy. Yessy mengangguk setuju dan mulai mengirimkan pesan pada Arga. Berkat
solusi yang diberikan Ines, Arga dan Yessy kembali berbaikan. Aku merasa senang
tetapi entahlah...
Malam itu juga, Arga
menjelaskan semua keadaannya padaku. Aku turut prihatin. Aku tahu dari Yessy
bahwa yang merawatnya adalah ibunya sendiri. Orang tuanya sudah bercerai. Ia
mempunyai saudara kembar yang tinggal bersama Ayahnya dan menetap di satu
daerah denganku. Saudara kembarnya perempuan bernama Difra. Sedangkan Arga
sendiri dibawa ke Surabaya dan menetap di sana. Arga dikenalkan pada Yessy pun
sebelum ia pindah ke Surabaya. Mengingat orang tuanya belum lama bercerai. Aku
semakin iba pada keadaannya.
Arga berkata padaku bahwa aku
tidak perlu khawatir dengan keadaannya. Ia meyakinkanku bahwa dia baik-baik
saja. Ia tidak ingin karena masalah ini aku berubah protektif padanya. Arga
ingin hubungan kami menjadi seperti biasanya. Seorang sahabat yang berjauhan
yang saling melempar bahan candaan. Dengan agak terpaksa aku menyanggupinya.
Untuk lebih menyakinkanku, Arga
berjanji akan datang ke tempat tinggalku saat ulang tahunnya tiba nanti.
Sekalian untuk menjenguk Difra dan Yessy. Arga bilang bahwa dia akan
mentraktirku. Tetapi, sebagai imbalannya, ia memintaku untuk menemaninya
berjalan-jalan. Berdua saja. Aku awalnya keberatan. Aku tidak enak dengan
Yessy. Tapi, Arga berkata bahwa ia juga akan mengajak Yessy jalan-jalan.
Akhirnya, akupun setuju. Aku menunggu hari dimana Arga akan pulang. Aku ingin
bertemu dia secara langsung.
Aku mulai jarang sms-an dengan
Arga. Aku takut terjadi apa-apa padanya. Sms-ku dan Yessy sama sekali tidak
dibalas. Aku jadi khawatir sendiri. Aku mencoba meneleponnya, tetapi egoku
melarangku. Akupun hanya diam sambil menunggu Arga yang menghubungiku.
Sampai suatu malam, dua minggu
sebelum ia berulang tahun, ia mengirimiku sms. Tanpa basa-basi, aku
memberondonginya dengan banyak pertanyaaan. Ia hanya tertawa mendengar
kekhawatiranku. Membuatku kesal. Aku memaksanya untuk jujur. Akhirnya dengan
terpaksa, ia becerita keadaannya semakin memburuk. Dan bahkan malam itu Arga
sedang di rawat di rumah sakit. Aku ketakutan. Tapi, ia berhasil menenangkanku.
Aku pun hanya bisa menurut.
Sampai ketika ia bertanya
padaku, selama ini aku menganggapnya sebagai apa? Aku bingung. Aku pun menjawab
aku menganggapnya sebagai seorang sahabat dan kakakku sendiri. Lama sekali Arga
membalas. Aku jadi panik sendiri.
Kemudian, Arga pun membalas.
Balasannya membuatku sedikit terdiam. Membiarkan aku mendengarkan angin malam
yang menyentuh kulitku saat aku baru pulang dari les. Arga bertanya, apakah
selama ini aku tidak punya perasaan khusus padanya? Lebih dari seorang teman?
Lebih dari seorang kakak? Aku hanya diam sambil menggigit bibir bawahku. Aku
bimbang.
Aku memang merasakannya, tetapi
aku yakin itu perasaan untuk adik kepada kakaknya. Lagipula saat itu aku masih
berharap dan mempunyai rasa pada cinta pertamaku. Aku juga tidak ingin
menyakiti Yessy yang begitu mencintai Arga. Aku tidak kunjung membalasnya. Aku
perlu berpikir. Sampai di rumah, aku belum membalas pesannya.
Perasaanku kalut. Aku takut
bahwa apa yang dikatakan Arga benar, jika aku memang mempunyai rasa padanya. Ia
lelaki yang sangat baik, humoris, dan ceria. Menghangatkanku setiap waktu. Selalu
ada untukku setiap waktu. Tetapi, di sisi lain aku tidak ingin mengkhianati
pertemananku dengan Yessy.
Setelah berpikir lama, aku
mulai menjawab pesannya dengan perasaan takut. Aku menjawab bahwa aku tidak
mempunyai rasa padanya. Rasaku padanya hanyalah sebatas sahabat dan kakak-adik.
Tidak lebih. Dan saat itu aku mengetahui, aku berbohong. Berbohong pada
perasaanku sendiri.
Tidak berapa lama Arga
membalas. Tetap dengan pendapatnya bahkan dia mendesakku. Dia berkata, apakah
selama ini hubungan kami tidak membawa kesan apa-apa terhadap perasaanku.
Perasaan untuk saling memiliki. Perasaan yang lebih dari sekedar persahabatan.
Ia terus mendesakku. Arga bilang ia berbeda dengan orang yang aku suka. Ya,
selama ini, aku selalu bercerita soal cinta pertamaku pada Arga.
Dengan nada frustasi aku
menjawab bahwa perasaanku padanya tidak lebih. Aku masih mencintai cinta
pertamaku. Masih ingin menunggunya. Aku berbohong lagi. Aku hanya tidak ingin
Yessy tersakiti karena perasaanku. Dalam kamusku, tidak ada kata menusuk dari
belakang. Aku tidak ingin. Tidak. Meski hatiku menjerit ingin mengatakan bahwa
aku juga mempunyai rasa yang sama dengan Arga. Tapi, aku tidak bisa.
Setelah itu, Arga tidak
membalas pesanku lagi. Aku membiarkannya. Mungkin ini yang terbaik. Untuk aku,
Arga, dan Yessy. Aku mulai berusaha menata kembali emosi dan perasaanku.
Ponselku kubiarkan mati. Tidak aku isi batrainya berhari-hari. Aku belum siap
berdebat lagi dengan Arga jika ia membalas pesanku. Jika tidak, aku tidak ingin
mengingat kenangan kami.
Tiga hari sebelum ulang tahun
Arga, aku sempat khawatir. Aku belum siap bertemu Arga secara langsung. Apalagi
aku masih mematikan ponselku. Bahkan di sekolah aku seperti orang bingung.
Sampai tiba-tiba aku bertemu dengan sahabat Arga yang kebetulan satu sekolah
denganku.
“Aku mencarimu kemana-mana,
kemana aja sih kamu?”tanya Nana, sahabat Arga.
“Aku habis dari kopsis, kenapa
emangnya?”tanyaku dengan nada heran.
“Ponsel kamu beberapa hari ini
aktif nggak sih, di sms nggak dibales.”kata Nana dengan nada jengkel.
“Ponselku batrainya abis dan
belum sempat aku isi. “jawabku. Atau lebih tepatnya memang sengaja tidak aku
isi.
“Yaampun, pantesan aku sms
nggak dibales. Sms-nya Difra juga nggak kamu bales.”kata Nana lagi. Aku diam
sebentar. Difra? Kembaran Arga? Mengirimiku sms? Tumben sekali. Ia tahu nomorku
darimana? Ah, mungkin dari Arga.
“Hah? Difra? Emang ada
apa?”tanyaku penasaran. Tetapi suatu perasaan tidak enak menggelayutiku.
“Lhoh? Jadi, kamu belum tahu?
Yessy nggak kasih tau kamu?”tanya Nana balik. Aku pun hanya menggeleng sebagai
jawaban.
Nana mengambil napas sejenak,
kemudian mengeluarkannya, “Ini soal Arga.”kata Nana. Membuatku menahan napas.
“Arga... Arga sudah meninggal
beberapa hari yang lalu.”lanjut Nana dengan nada lirih. Lututku melemas. Langit
seolah jatuh di hadapanku. Tidak. Ini tidak mungkin. Ia bahkan sudah berjanji
padaku akan datang saat ulang tahunnya. Tidak mungkin. Aku menggigit bibir
bawahku untuk menahan air mataku. Aku terdiam, tidak tahu harus bereaksi apa.
Pandanganku kosong. Aku seolah tidak bisa menahan berat tubuhku. Aku berjalan
gontai menuju kelas. Nana hanya menatapku dengan tatapan sedih. Hatiku hancur
saat itu juga.
Sepulang sekolah, aku langsung
men-charge ponselku. Menyalakannya. Menunggu pesan masuk. Sekitar ada dua sampai
empat pesan yang masuk waktu itu. Aku menahan napas. Berdoa semoga berita yang
kudengar hari ini adalah bohong. Semoga Arga mengirimiku pesan. Mengabarkan bahwa
ia baik-baik saja. Namun, harapan hanya harapan. Difra benar-benar mengirimkan
sms padaku mengabarkan bahwa saudaranya sudah meninggal. Bahkan ia
mengirimkannya dua kali. Ada juga sms dari Nana yang berisikan pesan yang sama.
Aku terduduk. Seolah langit runtuh di hadapanku saat itu juga. Aku belum siap
kehilangan Arga. Belum.
Aku menangis. Rasa frustasi dan
sesak menyelubungi hatiku. Aku belum sempat mendengar suaranya, hanya sempat
melihat wajahnya melalui foto, belum sempat mengobrol dengannya secara
langsung, kenapa Tuhan sudah mengambilnya dari sisiku? Bahkan janjinya untuk
menemuiku saat ulang tahunnya hanya tinggal janji. Ia tidak akan
melaksanakannya. Tidak akan pernah. Aku tidak akan pernah bertemu dengannya.
Kenapa takdir tidak berpihak padaku untuk kali ini?
Aku menyesal. Menyesal tidak
membalas perasaanku yang sejujurnya saat itu. Ketika Arga menanyakan hal itu
padaku. Setidaknya membiarkan Arga tahu perasaanku untuk terakhir kalinya.
Hanya mengetahui, tidak untuk dibalas. Hanya itu yang aku sesali.
Lebih dari tiga tahun kejadian
ini berlalu. Namun, aku tidak dapat melupakannya. Berusaha melupakan, nyatanya
semakin mengingatkan. Setiap tahun, saat tanggal 30 Juni, alarm ponselku selalu
berbunyi. Menandakan ulang tahun Arga. Setiap itu pula aku terbangun di tengah
malam. Mengucapkan selamat ulang tahun dan berdoa semoga arwahnya tenang di
sana. Namun, setiap itu pula kenanganku bersama Arga muncul kembali. Tangisku
pecah lagi. Mengingat semuanya. Terutama penyesalanku.
Aku ingin mengunjungi makamnya.
Namun, sayangnya sampai sekarang aku tidak tahu makamnya dimana. Nana bilang
Arga dimakamkan di Surabaya. Namun, ia sendiri tidak tahu karena Difra menutup
informasi itu dari Nana, Aku, dan juga Yessy. Oh ya, soal Yessy, aku baru
bertemu dengannya beberapa minggu setelah kematian Arga. Kami hanya membahas
sebentar lalu terdiam seterusnya. Tidak ingin membuka kesedihan.
Karena itu setiap kali, aku di
Surabaya, aku merasa sesak. Beruntung aku hanya sesekali ke sana. Tetapi,
setiap kali ke sana rasanya sesuatu menghantam hati dan pundakku. Kenangan
bersama Arga kembali berputar. Air mataku selalu jatuh ketika berada di kota
Pahlawan itu. Hal itu pula yang membuatku tidak berani mengambil kuliah di
Surabaya. Meskipun jaraknya dekat dengan daerah tempat tinggalku. Aku
memutuskan untuk kuliah di Malang. Berharap bisa melupakan kejadian ini. Namun,
aku gagal.
Untuk Arga, aku hanya ingin
meminta maaf. Maafkan aku karena telah berbohong kepadamu tentang perasaanku.
Aku menyesal. Tidak membiarkanmu mengetahui perasaanku untuk yang terakhir
kalinya. Aku tidak ingin kau membalasnya, aku hanya ingin kau tahu. Jika, aku
mencintaimu. Selamat tinggal Arga. Akhir bulan Juni akan terasa hilang bagiku.
Terimakasih sudah hadir di kehidupanku. Menemaniku. Menjadi sabahatku. Menjadi tempat
bersandar jika aku membutuhkan seseorang untuk bersandar. Aku tidak pernah
menyesal mengenalmu. Semoga kau tenang di alam sana.
Aku mencintaimu.....sahabat
dadakanku, Arga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar