expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Rabu, 23 Juli 2014

Yang Hilang di Akhir Juni

Yang Hilang di Akhir Juni
By lotusathene

Jika aku tahu ini untuk terakhir kalinya, aku akan mengungkapkannya. Aku tidak ingin kau membalasnya. Aku hanya ingin kau tahu untuk yang terakhir kali. – Author.


Cerita ini adalah kisah yang tak akan pernah kulupakan. Meski aku mencoba melupakan kisah ini. Kisah yang tidak pernah aku tahu apakah ini termasuk kisah cinta. Sampai sekarang. Yang aku tahu, kisah ini adalah kisah antara seorang lelaki dan perempuan yang tidak pernah bertemu. Hanya lewat pesan singkat di ponsel. Tetapi, mereka menyebut hubungan mereka persahabatan. Sahabat yang baru berkenalan singkat. Sahabat yang tanpa sengaja berkenalan. Sahabat yang langsung begitu saja pergi.
Ini kisahku. Kisahku saat aku duduk di bangku SMP. Dimana aku sudah mengenal arti sebuah cinta. Cinta yang aku tunggu. Ya, aku jatuh cinta pada teman kecilku sendiri. Yang sayangnya cintaku bertepuk sebelah tangan meski aku menunggunya. Meski aku menunjukkan rasa cintaku padanya. Meski aku berkata jujur padanya. Ia tak pernah sekalipun melihatku. Hubungan kami hanya sebatas tetangga. Tidak lebih. Meski sempat dekat dengannya bukan berarti ia menyukaiku. Meski aku berharap bahwa ia bisa melihatku. Lebih dari seorang teman.
Kemudian, lelaki itu muncul. Diantara kerumitan perasaanku pada cinta pertamaku. Muncul tanpa disengaja. Tanpa seizinku. Ia datang malam itu. Hanya lewat sebuah sms singkat. Aku masih ingat sekali. Hari itu malam minggu. Dimana aku menghabiskan seluruh waktuku hanya di rumah. Tanpa keluar kemanapun. Ponselku bergetar menandakan ada sms masuk. Aku kira itu dari sahabatku, ternyata itu dari sebuah nomor yang tidak aku kenal. Aku sedikit lupa apa yang ia tanyakan waktu itu. Karena kejadian itu sudah lebih dari tiga tahun yang lalu.
Aku kemudian bertanya padanya, “Ini siapa?”. Tak berapa lama lelaki itu membalas, menjawab pertanyaanku yang menanyakan namanya. Namanya Arga. Entah kenapa aku merasa tidak asing dengan nama itu. Seperti aku pernah mendengar namanya di suatu tempat. Kemudian, aku kembali bertanya, “dapet nomorku dari siapa?”. Agak sedikit lama dia membalas. Arga berkata bahwa ia menemukan nomorku di salah satu pesan miliknya. Pesan dari pujaan hatinya. Pujaan hatinya yang dikenalkan oleh sahabatnya. Aku terdiam. Mengingat sesuatu. Kemudian dia membalas lagi, bahwa dia orang yang disukai oleh temanku yang bernama, Yessy. Ah, dan aku teringat.
Pantas aku tak asing dengan namanya. Kemudian aku menjawab, bahwa aku sudah mengerti dan paham. Yessy pernah meminta pulsaku untuk membalas sms orang yang dia suka. Dan itu adalah Arga. Dari ketidak sengajaan itu, aku mulai berkomunikasi dengannya. Arga sangat baik. Tipe cowok yang benar-benar idaman wanita. Selera humornya tinggi. Dan ia juga tergabung dalam sebuah band di Surabaya. Entah kenapa aku bangga mempunyai ‘teman dadakan’ sepertinya. Dia selalu menemaniku. Kapanpun ketika dia ada waktu lengang. Pantas Yessy sangat setuju dijodohkan dengannya.
Dalam hati, aku sempat khawatir. Aku takut Yessy mengira aku menusuknya dari belakang. Aku takut Yessy berpikiran macam-macam tentangku. Ini memang kesalahanku juga, aku belum bercerita pada Yessy. Bukan apa-apa, tetapi Arga bilang ia sudah memberitahu Yessy. Setidaknya aku merasa lega.
Arga mengingatkanku pada cinta pertamaku. Nama mereka hampir sama. Hobi mereka hampir sama. Wajah mereka hampir sama, aku pernah ditunjukkan oleh Yessy bagaimana rupa Arga. Serta tanggal mereka lahir. Arga lahir tanggal 30 Juni. Sedangkan, cinta pertamaku lahir tanggal 30 April. Entah ini sebuah kebetulan atau takdir. Arga membuatku sedikit lupa pada cinta pertamaku. Dengan segala kekonyolan yang ia buat. Aku bahkan menjulukinya Mr.Oh. Karena dia selalu saja berkata Oh dan Oh. Haha.
Pernah suatu malam, ia meneleponku. Namun, sayangnya aku tidak mengangkatnya. Aku sedang pergi keluar bersama sahabatku waktu itu. Ingin aku meneleponnya. Tapi, aku takut. Tidak mungkin seorang perempuan menelepon seorang laki-laki terlebih dulu. Itu sangat memalukan. Akhirnya, aku memendam hasratku untuk meneleponnya. Untuk mendengarkan suaranya.
Sampai hari itu tiba. Pagi yang cerah saat keluargaku ingin pergi menghadiri sebuah acara. Acara yang tidak ingin aku hadiri. Yessy datang ke rumahku menggunakan sepedanya. Raut wajahnya tidak bisa ditebak. Namun, begitu aku merasa ini tidak beres.
“Kamu ada acara?”tanya Yessy kepadaku setelah dia turun dari sepedanya.
“Tidak, ada apa?”tanyaku balik padanya. Dengan nada yang pura-pura tenang.
“Aku ingin membicarakan sesuatu padamu. Bisa kita bicara.”jawab Yessy. Akupun mengangguk menyanggupinya. Yessy dan aku berbicara di luar rumahku. Aku satu perumahan dengannya.
“Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu sms-an sama Arga?”tanya Yessy blak-blakan. Sudah kuduga ia pasti akan menanyakan hal ini. Aku menatapnya. Sedikit agak takut. Takut ia berpikir aku menusuknya. Aku tidak menyangka Arga belum bercerita soal ini pada Yessy.
“Bukan aku nggak mau bilang. Tapi, aku mengira Arga sudah mengatakannya padamu.”jawabku. Itu memang kebenaran yang harus Yessy ketahui agar dia tidak menyudutkanku.
“Tapi, Arga nggak bilang apa-apa.”jawabnya dengan nada yang agak tinggi. Oke, sepertinya aku dalam masalah besar. Aku mengambil napas dan mengeluarkannya perlahan. Berusaha menjelaskan dengan tenang duduk perkaranya.
“Aku minta maaf karena nggak beritahu kamu. Tapi, sungguh aku ingin bercerita. Namun, Arga bilang bahwa ia sudah bercerita padamu. Jadi, aku hanya diam. Maafkan aku.”ucapku dengan nada penyesalan.
Yessy terdiam sebentar, kemudian ia bertanya, “Bagaimana bisa kamu kenal Arga?”. Aku terdiam sebentar. Menyusun memori dan kata-kataku untuk menjelaskan perkenalan ketidak sengajaan antara aku dan Arga.
Dan mulailah aku bercerita. Dari awal sampai akhir. Aku berusaha tidak mengurangi ataupun menambahi pernyataanku. Aku hanya ingin berkata yang sebenarnya.
Yessy terdiam agak lama setelah ceritaku selesai, kemudian ia menghela napas, “Padahal, aku sudah menghapus nomornya dari ponselmu. Aku tidak memikirkan kemungkinan bahwa ia akan menyimpannya. Maafkan aku.” Aku hanya tersenyum mendengar permintaan maaf Yessy. Dan mengangguk. Kemudian, setelah itu pembicaraan Yessy dan aku selesai. Yessy memutuskan pulang. Dan aku harus membantu kedua orang tuaku untuk bersiap-siap menghadiri sebuah acara.
Tidak berselang lama, ketika orang tuaku akan berangkat, Yessy datang kembali. Kali ini dalam keadaan yang berbeda. Matanya dipenuhi oleh air mata. Aku panik setengah mati. Aku pun menghampirinya.
“Ada apa? Kok kamu nangis?”tanyaku dengan nada panik yang tidak terelakkan.
“Arga..Arga...”jawabnya dengan sesenggukan. Aku mengernyitkan dahi. Ada apa dengan Arga?
“Iya, Arga kenapa?”tanyaku mulai mendesaknya. Yessy terdiam sebentar untuk mengambil napas. Mengatur isak tangisnya.
“Arga baru saja mengirimkan sms bahwa aku harus menjauhinya. Dia bilang dia itu playboy. Dia nggak ingin aku tersakiti oleh sifat playboynya. Karena itu dia minta aku menjauhinya. Aku tidak percaya dia seperti itu. Aku yakin dia cowok yang baik.”jelas Yessy panjang lebar sambil menunjukkan isi sms dari Arga. Aku tertegun. Itu tidak mungkin. Aku sependapat sama Yessy. Arga cowok yang baik.
Tiba-tiba saja, kedua orang tuaku keluar. Aku panik setengah mati melihat raut wajah khawatir dari Ibu dan Ayahku yang melihat Yessy menangis.
“Ada apa?”tanya Ibuku dan berjalan mendekati kami. Aku melirik Yessy sebentar. Dari tatapan matanya, ia memintaku untuk berbohong. Aku pun hanya mengangguk.
“Ngg, nggak bu. Yessy nangis karena habis bertengkar sama kakaknya.”jawabku berbohong. Ibuku hanya manggut-manggut, dan memintaku membawa Yessy ke dalam rumah. Sementara beliau akan berangkat menghadiri pesta.
Aku dan Yessy menuju ke lantai dua rumahku. Tempat biasa aku menghabiskan waktu bercurhat-curhat ria bersama teman-temanku. Sesampainya di atas, aku menghubungi sahabatku sekaligus teman Yessy, Ines. Aku mulai menenangkan Yessy sambil menunggu Ines datang ke rumahku.
Tak berapa lama, Ines datang dan langsung menuju ke lantai atas. Ia pun juga sama paniknya sepertiku melihat Yessy menangis. Kemudian, secara bergantian aku dan Yessy bercerita tentang masalah yang Yessy hadapi kepada Ines. Ines menangguk mengerti.
“Coba tanyakan pelan-pelan padanya, ya agak dengan sedikit mendesak. Kenapa dia berkata seperti itu.”kata Ines memberikan solusi yang langsung diterima oleh Yessy. Aku juga berusaha sms Arga. Namun, ia tidak membalas pesanku sama sekali. Tidak seperti biasanya.
Setelah 30 menit menunggu, aku dan Ines menoleh kaget ke arah Yessy yang kembali menitikkan air mata. Aku dan Ines bertubi-tubi bertanya padanya apa yang terjadi.
“Arga b-bilang dia..dia m-minta aku jauhi dia...k-karna...k-karna A-Arga punya pe-penyakit jantung.”jelas Yessy dengan nada sesenggukan. Aku terkejut. Arga? Terkena penyakit jantung? Astaga benarkah itu? Yessy juga mengatakan bahwa ia membalas pesan agak lama karena ia sedang di rumah sakit untuk periksa rutin. Aku tertegun, pantas ia tidak membalas pesanku. Aku berusaha menghilangkan kesedihanku. Kesedihan yang tiba-tiba melandaku.
“Bilang sama dia itu nggak akan jadi masalah. Kamu akan tetap di sampingnya, mendukung dia.”kata Ines kepada Yessy. Yessy mengangguk setuju dan mulai mengirimkan pesan pada Arga. Berkat solusi yang diberikan Ines, Arga dan Yessy kembali berbaikan. Aku merasa senang tetapi entahlah...
Malam itu juga, Arga menjelaskan semua keadaannya padaku. Aku turut prihatin. Aku tahu dari Yessy bahwa yang merawatnya adalah ibunya sendiri. Orang tuanya sudah bercerai. Ia mempunyai saudara kembar yang tinggal bersama Ayahnya dan menetap di satu daerah denganku. Saudara kembarnya perempuan bernama Difra. Sedangkan Arga sendiri dibawa ke Surabaya dan menetap di sana. Arga dikenalkan pada Yessy pun sebelum ia pindah ke Surabaya. Mengingat orang tuanya belum lama bercerai. Aku semakin iba pada keadaannya.
Arga berkata padaku bahwa aku tidak perlu khawatir dengan keadaannya. Ia meyakinkanku bahwa dia baik-baik saja. Ia tidak ingin karena masalah ini aku berubah protektif padanya. Arga ingin hubungan kami menjadi seperti biasanya. Seorang sahabat yang berjauhan yang saling melempar bahan candaan. Dengan agak terpaksa aku menyanggupinya.
Untuk lebih menyakinkanku, Arga berjanji akan datang ke tempat tinggalku saat ulang tahunnya tiba nanti. Sekalian untuk menjenguk Difra dan Yessy. Arga bilang bahwa dia akan mentraktirku. Tetapi, sebagai imbalannya, ia memintaku untuk menemaninya berjalan-jalan. Berdua saja. Aku awalnya keberatan. Aku tidak enak dengan Yessy. Tapi, Arga berkata bahwa ia juga akan mengajak Yessy jalan-jalan. Akhirnya, akupun setuju. Aku menunggu hari dimana Arga akan pulang. Aku ingin bertemu dia secara langsung.
Aku mulai jarang sms-an dengan Arga. Aku takut terjadi apa-apa padanya. Sms-ku dan Yessy sama sekali tidak dibalas. Aku jadi khawatir sendiri. Aku mencoba meneleponnya, tetapi egoku melarangku. Akupun hanya diam sambil menunggu Arga yang menghubungiku.
Sampai suatu malam, dua minggu sebelum ia berulang tahun, ia mengirimiku sms. Tanpa basa-basi, aku memberondonginya dengan banyak pertanyaaan. Ia hanya tertawa mendengar kekhawatiranku. Membuatku kesal. Aku memaksanya untuk jujur. Akhirnya dengan terpaksa, ia becerita keadaannya semakin memburuk. Dan bahkan malam itu Arga sedang di rawat di rumah sakit. Aku ketakutan. Tapi, ia berhasil menenangkanku. Aku pun hanya bisa menurut.
Sampai ketika ia bertanya padaku, selama ini aku menganggapnya sebagai apa? Aku bingung. Aku pun menjawab aku menganggapnya sebagai seorang sahabat dan kakakku sendiri. Lama sekali Arga membalas. Aku jadi panik sendiri.
Kemudian, Arga pun membalas. Balasannya membuatku sedikit terdiam. Membiarkan aku mendengarkan angin malam yang menyentuh kulitku saat aku baru pulang dari les. Arga bertanya, apakah selama ini aku tidak punya perasaan khusus padanya? Lebih dari seorang teman? Lebih dari seorang kakak? Aku hanya diam sambil menggigit bibir bawahku. Aku bimbang.
Aku memang merasakannya, tetapi aku yakin itu perasaan untuk adik kepada kakaknya. Lagipula saat itu aku masih berharap dan mempunyai rasa pada cinta pertamaku. Aku juga tidak ingin menyakiti Yessy yang begitu mencintai Arga. Aku tidak kunjung membalasnya. Aku perlu berpikir. Sampai di rumah, aku belum membalas pesannya.
Perasaanku kalut. Aku takut bahwa apa yang dikatakan Arga benar, jika aku memang mempunyai rasa padanya. Ia lelaki yang sangat baik, humoris, dan ceria. Menghangatkanku setiap waktu. Selalu ada untukku setiap waktu. Tetapi, di sisi lain aku tidak ingin mengkhianati pertemananku dengan Yessy.
Setelah berpikir lama, aku mulai menjawab pesannya dengan perasaan takut. Aku menjawab bahwa aku tidak mempunyai rasa padanya. Rasaku padanya hanyalah sebatas sahabat dan kakak-adik. Tidak lebih. Dan saat itu aku mengetahui, aku berbohong. Berbohong pada perasaanku sendiri.
Tidak berapa lama Arga membalas. Tetap dengan pendapatnya bahkan dia mendesakku. Dia berkata, apakah selama ini hubungan kami tidak membawa kesan apa-apa terhadap perasaanku. Perasaan untuk saling memiliki. Perasaan yang lebih dari sekedar persahabatan. Ia terus mendesakku. Arga bilang ia berbeda dengan orang yang aku suka. Ya, selama ini, aku selalu bercerita soal cinta pertamaku pada Arga.
Dengan nada frustasi aku menjawab bahwa perasaanku padanya tidak lebih. Aku masih mencintai cinta pertamaku. Masih ingin menunggunya. Aku berbohong lagi. Aku hanya tidak ingin Yessy tersakiti karena perasaanku. Dalam kamusku, tidak ada kata menusuk dari belakang. Aku tidak ingin. Tidak. Meski hatiku menjerit ingin mengatakan bahwa aku juga mempunyai rasa yang sama dengan Arga. Tapi, aku tidak bisa.
Setelah itu, Arga tidak membalas pesanku lagi. Aku membiarkannya. Mungkin ini yang terbaik. Untuk aku, Arga, dan Yessy. Aku mulai berusaha menata kembali emosi dan perasaanku. Ponselku kubiarkan mati. Tidak aku isi batrainya berhari-hari. Aku belum siap berdebat lagi dengan Arga jika ia membalas pesanku. Jika tidak, aku tidak ingin mengingat kenangan kami.
Tiga hari sebelum ulang tahun Arga, aku sempat khawatir. Aku belum siap bertemu Arga secara langsung. Apalagi aku masih mematikan ponselku. Bahkan di sekolah aku seperti orang bingung. Sampai tiba-tiba aku bertemu dengan sahabat Arga yang kebetulan satu sekolah denganku.
“Aku mencarimu kemana-mana, kemana aja sih kamu?”tanya Nana, sahabat Arga.
“Aku habis dari kopsis, kenapa emangnya?”tanyaku dengan nada heran.
“Ponsel kamu beberapa hari ini aktif nggak sih, di sms nggak dibales.”kata Nana dengan nada jengkel.
“Ponselku batrainya abis dan belum sempat aku isi. “jawabku. Atau lebih tepatnya memang sengaja tidak aku isi.
“Yaampun, pantesan aku sms nggak dibales. Sms-nya Difra juga nggak kamu bales.”kata Nana lagi. Aku diam sebentar. Difra? Kembaran Arga? Mengirimiku sms? Tumben sekali. Ia tahu nomorku darimana? Ah, mungkin dari Arga.
“Hah? Difra? Emang ada apa?”tanyaku penasaran. Tetapi suatu perasaan tidak enak menggelayutiku.
“Lhoh? Jadi, kamu belum tahu? Yessy nggak kasih tau kamu?”tanya Nana balik. Aku pun hanya menggeleng sebagai jawaban.
Nana mengambil napas sejenak, kemudian mengeluarkannya, “Ini soal Arga.”kata Nana. Membuatku menahan napas.
“Arga... Arga sudah meninggal beberapa hari yang lalu.”lanjut Nana dengan nada lirih. Lututku melemas. Langit seolah jatuh di hadapanku. Tidak. Ini tidak mungkin. Ia bahkan sudah berjanji padaku akan datang saat ulang tahunnya. Tidak mungkin. Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan air mataku. Aku terdiam, tidak tahu harus bereaksi apa. Pandanganku kosong. Aku seolah tidak bisa menahan berat tubuhku. Aku berjalan gontai menuju kelas. Nana hanya menatapku dengan tatapan sedih. Hatiku hancur saat itu juga.
Sepulang sekolah, aku langsung men-charge ponselku. Menyalakannya. Menunggu pesan masuk. Sekitar ada dua sampai empat pesan yang masuk waktu itu. Aku menahan napas. Berdoa semoga berita yang kudengar hari ini adalah bohong. Semoga Arga mengirimiku pesan. Mengabarkan bahwa ia baik-baik saja. Namun, harapan hanya harapan. Difra benar-benar mengirimkan sms padaku mengabarkan bahwa saudaranya sudah meninggal. Bahkan ia mengirimkannya dua kali. Ada juga sms dari Nana yang berisikan pesan yang sama. Aku terduduk. Seolah langit runtuh di hadapanku saat itu juga. Aku belum siap kehilangan Arga. Belum.
Aku menangis. Rasa frustasi dan sesak menyelubungi hatiku. Aku belum sempat mendengar suaranya, hanya sempat melihat wajahnya melalui foto, belum sempat mengobrol dengannya secara langsung, kenapa Tuhan sudah mengambilnya dari sisiku? Bahkan janjinya untuk menemuiku saat ulang tahunnya hanya tinggal janji. Ia tidak akan melaksanakannya. Tidak akan pernah. Aku tidak akan pernah bertemu dengannya. Kenapa takdir tidak berpihak padaku untuk kali ini?
Aku menyesal. Menyesal tidak membalas perasaanku yang sejujurnya saat itu. Ketika Arga menanyakan hal itu padaku. Setidaknya membiarkan Arga tahu perasaanku untuk terakhir kalinya. Hanya mengetahui, tidak untuk dibalas. Hanya itu yang aku sesali.

Lebih dari tiga tahun kejadian ini berlalu. Namun, aku tidak dapat melupakannya. Berusaha melupakan, nyatanya semakin mengingatkan. Setiap tahun, saat tanggal 30 Juni, alarm ponselku selalu berbunyi. Menandakan ulang tahun Arga. Setiap itu pula aku terbangun di tengah malam. Mengucapkan selamat ulang tahun dan berdoa semoga arwahnya tenang di sana. Namun, setiap itu pula kenanganku bersama Arga muncul kembali. Tangisku pecah lagi. Mengingat semuanya. Terutama penyesalanku.
Aku ingin mengunjungi makamnya. Namun, sayangnya sampai sekarang aku tidak tahu makamnya dimana. Nana bilang Arga dimakamkan di Surabaya. Namun, ia sendiri tidak tahu karena Difra menutup informasi itu dari Nana, Aku, dan juga Yessy. Oh ya, soal Yessy, aku baru bertemu dengannya beberapa minggu setelah kematian Arga. Kami hanya membahas sebentar lalu terdiam seterusnya. Tidak ingin membuka kesedihan.
Karena itu setiap kali, aku di Surabaya, aku merasa sesak. Beruntung aku hanya sesekali ke sana. Tetapi, setiap kali ke sana rasanya sesuatu menghantam hati dan pundakku. Kenangan bersama Arga kembali berputar. Air mataku selalu jatuh ketika berada di kota Pahlawan itu. Hal itu pula yang membuatku tidak berani mengambil kuliah di Surabaya. Meskipun jaraknya dekat dengan daerah tempat tinggalku. Aku memutuskan untuk kuliah di Malang. Berharap bisa melupakan kejadian ini. Namun, aku gagal.
Untuk Arga, aku hanya ingin meminta maaf. Maafkan aku karena telah berbohong kepadamu tentang perasaanku. Aku menyesal. Tidak membiarkanmu mengetahui perasaanku untuk yang terakhir kalinya. Aku tidak ingin kau membalasnya, aku hanya ingin kau tahu. Jika, aku mencintaimu. Selamat tinggal Arga. Akhir bulan Juni akan terasa hilang bagiku. Terimakasih sudah hadir di kehidupanku. Menemaniku. Menjadi sabahatku. Menjadi tempat bersandar jika aku membutuhkan seseorang untuk bersandar. Aku tidak pernah menyesal mengenalmu. Semoga kau tenang di alam sana.

Aku mencintaimu.....sahabat dadakanku, Arga.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar