expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 26 April 2014

Withoud Words

Without Words
By lotusathene

Belum sempat aku menunjukkan. Belum sempat aku mengatakan. Aku telah kehilangan dia terlebih dahulu. Dia yang menjadi cinta pertamaku – Luna.


Luna dengan tergesa-gesa menuruni tangga. Membiarkan pintu kamarnya terbuka. Tanpa alas kaki dan rambut masih acak-acakan ia berlari menuju pagar tempat kosnya. Sebenarnya bukan pagar melainkan sebuah dinding. Dinding di sebelah pagar tempat kos Luna. Dengan kecepatan tinggi, Luna melesat ke arah dinding setelah menaiki dua tangga kecil. Luna sedikit menjijit untuk melihat ke arah luar. Luar pagar kosnya.
“3..2..1..”ucap Luna sambil melihat jam tangannya. Tepat jam sembilan, suara sepeda motor terdengar memecah suasana sunyi pagi hari. Luna tersenyum senang. Orang yang ia tunggu rupanya sudah datang.
Sepeda motor itu berhenti tepat di depan rumah bercat pink. Rumah yang berhadapan dengan tempat kos Luna. Sang pengendara turun dari sepeda motor tersebut. Melepaskan helm yang melekat di kepalanya. Membuat rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan terlihat. Memperlihatkan seorang pemuda tampan yang menurut Luna seperti Ian Somerhalder. Luna menahan napas melihat pemandangan itu. Luna hapal gerakan selanjutnya. Pemuda itu mengambil napas sejenak lalu melihat ke kaca spion untuk membenahi rambutnya. Luna tersenyum, tebakan yang ada di pikirannya benar. Luna tentu saja hapal dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan pemuda itu ketika sudah turun dari motornya. Karena Luna sudah mengamati lelaki muda itu sejak setahun lalu. Tepat, saat Luna baru saja sampai di Malang dan baru pertama kali menginjakkan kakinya di tempat kosnya. Dan, saat itulah, Luna merasa ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada pemuda itu.
Pemuda itu tampak gagah dengan jaket abu-abu dan kaos hitam bermotif abstrak serta celana jeans yang sesuai dengan tubuhnya. Menurut Luna, lelaki itu mirip Ian Somerhalder, aktor Hollywood favoritnya. Tingginya, wajahnya, rambutnya, semuanya kecuali satu. Tatapan matanya. Tatapan mata pemuda itu begitu tajam seperti elang. Namun, begitu menenangkan.
Luna tidak menyadari bahwa sedari tadi ia menahan napas melihat pemuda itu. Luna tidak pernah tahu nama pemuda itu dan tidak berusaha mencari tahu. Yang Luna tahu, pemuda itu selalu datang setiap hari. Dari jam sembilan pagi sampai tiga sore. Luna seperti seorang spy.
Deo dangdanghage neon Mr. Mr~
Suara ringtone ponsel Luna berbunyi keras. Membuat Luna maupun pemuda itu terkejut. Luna segera merutuki dirinya yang lupa membuat ponselnya dalam mode silent. Luna melihat sekilas ke arah pemuda itu. Berharap pemuda itu tidak mendengar ringtone ponselnya. Namun, harapannya tidak terkabul. Langkah pemuda itu terhenti, padahal Luna yakin bahwa pemuda tadi sudah mulai berjalan akan masuk ke dalam rumah bercat pink itu. Luna menggigit bibir bawahnya. Takut jika pemuda itu memergokinya.
Tepat setelah itu, pemuda itu berbalik dan tatapan matanya langsung bersirobok dengan tatapan mata Luna. Mulut Luna menganga. Gawat! Ia ketahuan. Luna langsung turun dan berlari secepat kilat menuju kamarnya yang ada di lantai dua.
Luna ngedumel sendiri setelah sampai kamar. Ia mengutuk siapapun yang berani meneleponnya disela-sela kegiatan ‘mengintip’-nya. Padahal biasanya setelah Luna puas melihat pemuda itu, ia akan lompat-lompat kegirangan dan berteriak-teriak sendiri. Hari ini berbeda. Sepertinya ia sedang sial.

“Gara-gara kamu nih, aku hampir ketahuan!”cerocos Luna pada sahabatnya, Rere saat mereka berada di kantin. Sebagai pemberitahuan, yang menyebabkan ponsel Luna berbunyi adalah telepon dari Rere yang ingin ngasih informasi kalau praktikum yang seharusnya jam tiga sore diajukan menjadi jam sepuluh pagi.
Rere yang mendengar itu hanya nyengir kuda. Membuat Luna yang baru saja duduk di meja kantin menatapnya sebal.
“Tapi, tadi nggak ketahuan kan?”tanya Rere. Luna semakin menatapnya sebal membuat Rere menelan ludah. Oke, Rere salah mengambil pertanyaan.
“Dia melihatku Rere!”teriak Luna keras sampai-sampai Rere harus menutup telinganya. Rere berdoa supaya besok telinganya masih berfungsi.
“Melihat bukan berarti dia tahu kan?”protes Rere sambil mengelus telinganya sayang. Luna terdiam mendengar kata-kata Rere. Memang ada benarnya sih.
“Aku nggak tahu. Semoga aja dia nggak tahu.”jawab Luna lirih. Rere hanya bisa mengusap-usap pundak sahabatnya itu. Rere tahu bahwa sahabatnya ini benar-benar jatuh cinta pada pemuda itu.

Tik tik tik tik.....
Hujan turun ketika Luna sedang berjalan pulang. Tidak terlalu deras tetapi cukup untuk membuat baju basah. Beruntung Luna sudah siap membawa payung di dalam tasnya. Sehingga ia tidak perlu susah-susah cuci baju malam-malam hanya karena bajunya basah.
Luna tersenyum ketika hujan turun. Ia menyukai hujan. Menurutnya, karena di saat hujan-lah orang-orang akan memakai payung yang berwarna-warni. Seperti bunga-bunga mekar dan berwarna indah di bawah langit yang sedang kelabu. Sungguh pemandangan indah.
Luna berjalan pelan takut terpeleset. Saat sudah mendekati pagar kosnya, Luna terdiam. Ia sedang melihat objek di depannya. Pemuda yang ia sukai. Pemuda itu terlihat baru saja keluar dari rumah bercat pink itu. Dia juga mengenakan jas hujan namun tidak sampai menutupi rambutnya, membuat rambutnya basah. Wajah putihnya semakin putih. Mungkin karena efek dinginnya hujan.
Luna mengenggam erat payungnya. Ingin sekali ia memayungi pemuda itu. Pemuda itu menuju sepeda motornya yang dia parkir di depan pagar rumah bercat pink itu. Sebelum pemuda itu memakai helmnya, dia melihat sekilas ke arah Luna. Luna terkesiap. Ia menahan napas. Untuk kedua kalinya tatapan mereka bertemu. Awalnya pemuda itu diam lalu perlahan dia menyunggingkan senyumnya kepada Luna. Sebagai sapaan kecil untuk Luna. Jantung Luna melompat-lompat mendapat senyuman itu. Dengan agak gugup, Luna ikut tersenyum. Hanya senyuman kecil untuk membalas sapaan pemuda itu. Pemuda itu hanya mengangguk dan memakai helmnya. Segera menyalakan motor dan melaju secara perlahan melewati Luna yang masih terdiam.
Sepeninggal pemuda itu, napas Luna kembali teratur. Ia masih tidak percaya. Pemuda itu tersenyum padanya. Pipinya tiba-tiba merona merah. Luna mengadahkan kepalanya menatap langit yang sedang kelabu. Lalu tersenyum.
Inilah salah satu alasanku kenapa aku menyukai hujan, batin Luna.

Luna berjalan menyusuri alun-alun kota Malang sambil mendengarkan lagu lewat earphone. Matanya mencari tempat duduk yang kosong dan nyaman untuk ia duduki. Ia kemudian melihat sebuah tempat duduk dari semen yang berada di bawah pohon yang rindang. Luna tersenyum dan berlari secepat kilat sebelum tempat duduk itu di tempati orang lain.
Ketika sampai, Luna merentangkan tangannya. Kemudian merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah novel romance favoritnya. Luna membuka halaman yang sudah ia tandai tadi malam. Telinganya ia tutup dengan earphone. Mendengarkan lagu-lagu instrumental agar ia bisa larut dalam cerita novel tersebut.
Luna terlalu fokus sehingga tidak menyadari adanya pemuda yang baru saja datang menenteng semangkuk mi ayam dan langsung duduk di sebelahnya. Pemuda itu melirik Luna sekilas. Dia mengernyitkan dahinya. Seperti pernah melihat Luna, tetapi dimana?
Luna merasa ada yang memperhatikannya sehingga ia menutup novelnya dan melepas earphone-nya. Luna menolehkan kepalanya. Matanya membulat melihat siapa yang sedang duduk di sebelahnya sekarang. Pemuda yang ia sukai!
Pemuda itu juga menatap Luna. Kemudian tersenyum manis ke arah Luna membuat Luna susah menelan ludah. Kembali menahan napasnya.
“Hei, kita bertemu lagi rupanya.”ucap pemuda itu. Suaranya sangat merdu dan manly seperti penampilannya.
Luna hanya diam. Ia tidak mampu menjawab. Mulutnya masih terkatup rapat. Ia masih belum percaya.
“Masih ingat aku?”tanya pemuda itu lagi. Luna dengan gugup mengangguk sebagai jawaban.
Pemuda itu tertawa kecil melihat tingkah Luna. Mangkok mi ayamnya ia letakkan dia sebelahnya.
“Kamu sendiri ke sini?”tanya pemuda itu lagi. Matanya menatap langsung ke arah Luna. Membuat pipi Luna memanas.
“Ya, kamu?”Luna mulai berani untuk membuka suara.
Pemuda itu hanya mengangguk. “Kamu ada acara apa ke sini?”
“Cuman rutinitas setiap Sabtu. Baca novel sambil dengerin musik di sini.”
Mata pemuda itu membulat, kaget. “Setiap Sabtu?” Luna hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Kok kita nggak pernah ketemu ya? Padahal, aku juga setiap Sabtu ke sini.”
“Oh ya? Mungkin waktunya aja yang nggak tepat.”
“Kamu benar.”jawab pemuda itu. Hening untuk selanjutnya. Luna kembali membaca novelnya dan pemuda itu langsung menyantap mi ayamnya.
Luna tidak fokus saat membaca novel, kemudian ia berdeham. “Kamu sendiri ada acara apa ke sini?”
Pemuda itu menghentikan sejenak kegiatan makannya. “Cuman makan mi ayam sama...nenangin diri.”jawab pemuda itu sambil tersenyum.
Luna hanya mengangguk. Dan kembali fokus membaca novelnya.
“Kamu anak kos depan rumah itu kan?”tanya pemuda itu kembali setelah kegiatan makan mi ayamnya selesai. Luna menatap pemuda itu lalu mengangguk.
“Oh pantas aja aku familiar sama kamu. Kamu yang kemarin berdiri di depan pagar pas hujan kan?”Luna kembali mengangguk sebagai jawaban. Dalam hati, Luna kagum dengan ingatan pemuda itu.
“Terus yang ngintipin aku pas aku baru dateng kan?” Pertanyaan terakhir pemuda itu membuat pipinya merah merona. Sial! Ia ketahuan ternyata.
“Si-siapa yang ngintip?”tanya Luna dengan gugup.
Pemuda itu terkekeh, “Ngaku aja deh. Kamu kayaknya nggak jago bohong.”
Muka Luna semakin merah. “Nggak! A-aku ke-kemarin nungguin tu-tukang bubur kok. Iya nungguin tukang bubur!”
Pemuda itu semakin tertawa, membuat wajah Luna memberengut kesal. Melihat Luna yang (memang) sepertinya kesal, pemuda itu mulai meredakan tawanya. Dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Sorry, hanya bercanda.”ucap pemuda itu. Luna mengambil napas untuk meredakan debar jantungnya. Lalu, tersenyum ke arah pemuda itu. Pemuda itu ikut tersenyum melihat senyum Luna.
Pemuda itu mengulurkan tangannya, “Danis.”
Luna mengerjap-ngerjapkan matanya. Tidak percaya bahwa pemuda pujaannya memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. Luna berdeham lalu membalas uluran tangan pemuda itu.
“Luna.”
Mereka masih terus berjabat tangan. Luna merasa tangan kecilnya digenggam erat oleh tangan pemuda itu. Membuatnya merasa aman ketika berada di dekat pemuda itu.
Kemudian mereka melanjutkan pembicaraan mereka. Danis orang yang dewasa dan humoris. Dari pembicaraan itu, Luna jadi tahu tentang Danis. Danis sudah bekerja, sebagai seorang manager di sebuah bank di daerah Malang. Dia tinggal di daerah Soekarno-Hatta. Sedangkan rumah bercat pink itu adalah rumah yang sudah Danis anggap sebagai ibunya. Danis sebatang kara, fakta yang tidak diperhitungkan oleh Luna. Danis berumur 26 tahun, enam tahun lebih tua dari Luna. Danis juga suka membaca novel sama seperti Luna, tapi dengan genre action.
Luna dan Danis terus mengobrol. Saling lempar candaan. Tanpa mereka sadari, mereka mulai akrab satu sama lain. Senja sore menjadi saksi keakraban mereka.

Pertemuan Luna dan Danis terus berlanjut. Namun, mereka selalu bertemu di tempat yang mereka janjikan. Danis tidak bisa menjemput Luna karena alasan tertentu. Luna hanya memaklumi, ia tahu pasti Danis sangat sibuk.
Mereka kadang menghabiskan waktu di museum Brawijaya. Atau mungkin mencari dan membeli novel di Gramedia dekat alun-alun Malang. Yang selalu dilanjutkan dengan makan mi ayam langganan Danis. Mi ayam yang menurut Danis ter-enak di seluruh daerah Malang. Luna percaya setelah membuktikannya sendiri.

Hari ini Luna dan Danis berencana ke MATOS. Danis sedikit mengernyitkan dahi ketika melihat dekorasi serba pink di Matos.
“Ada apa Kak?”tanya Luna yang melihat dahi Danis mengerut. Info tambahan, setelah Luna tahu Danis lebih tua darinya, Luna memutuskan untuk memanggil Danis kakak. Supaya lebih akrab.
“Tidak, hanya aneh melihat suasana serba pink.”ucap Danis. Mendengar itu, Luna hanya tertawa. Danis menatapnya heran, seolah bertanya ‘ada apa?’
“Kak,  besok itu hari Valentine, makanya dekorasinya serba pink.”jelas Luna di sela-sela tawanya. Danis hanya manggut-manggut mendengar penuturan Luna.
Setelah itu, mereka berdua langsung melangkah masuk. Dan mengarahkan kaki mereka ke lantai atas. Menuju Timezone. Danis berjanji akan mengajak Luna ke Timezone, dan tentu saja Danis yang mentraktir Luna.
Danis dan Luna mengawali dengan bermain mobil balap. Disusul dengan bermain basket dan juga karaoke kecil-kecilan. Luna dan Danis tertawa bersama.
Setelah merasa sudah cukup, Danis mengajak Luna ke foodcourt. Lagi-lagi Danis yang mentraktir Luna. Luna memesan steak dan Danis memesan masakan Jepang. Selagi menunggu pesanan datang, mereka mulai pembicaraan.
“Kak, tumben kakak baik banget nraktir-nraktir aku segala. Lagi ulang tahun ya?”tanya Luna. Danis tertawa mendengar pertanyaan Luna.
“Nggak Lun, aku lagi seneng aja sih.”jawab Danis disela-sela tawanya.
“Seneng kenapa?”tanya Luna lagi.
“Kamu kepo banget ya, kayak mendiang adikku. Haha. Kamu persis banget sama dia.”jawab Danis sambil terkekeh. Luna hanya tersenyum. Ia sudah terbiasa bila disamakan dengan mendiang adik Danis yang bernama Nana. Nana meninggal bersama kedua orang tua Danis dalam kecelakaan pesawat.
“Kepo itu tanda perhatian lho, Kak.”sahut Luna dengan tatapan menerawang ketika menatap Danis. Luna berharap Danis peka dengan kata-katanya.
“Iya deh iya... ada hal yang membuatku seneng hari ini.”
“Hal apa?”
“Rahasia, kalau kamu pengen tahu, besok dateng aja ke alun-alun tempat biasa kita ketemu.”jawab Danis lantas menarik hidung Luna. Luna hanya meringis. Dadanya berdetak cepat.
“Wajib ya?”tanya Luna setelah berhasil menetralkan detak jantungnya.
“Harus. Kamu pasti suka deh, Lun.”jawab Danis. Luna hanya mengangguk-angguk. Dalam hati, ia bertanya-tanya apa yang disiapkan Danis untuknya.

Besoknya, Luna benar-benar datang. Ia mengeratkan pegangan tangannya pada payung miliknya. Hari ini cuaca sedang hujan. Padahal hari adalah hari Valentine. Luna tidak keberatan, menurutnya hujan adalah keberuntungannya. Hari ini, Luna juga membawa kado Valentine untuk Danis. Luna juga akan mengungkapkan perasaannya pada Danis selama ini.
Luna melangkahkan kakinya dengan hati-hati agar tidak jatuh terpeleset. Matanya menyusuri semua daerah alun-alun. Berharap menemukan Danis. Danis berjanji akan datang pukul sembilan. Luna tersenyum sendiri. Jam sembilan. Ia suka ketika waktu sudah menunjukkan pukul itu.
“LUNAAAA.”teriak seseorang yang membuat Luna terkejut. Dada Luna berdetak, ia mengenal suara ini. Ini suara Danis. Luna menggigit bibir bawahnya. Menutup matanya sejenak. Ia sangat gugup bertemu dengan Danis. Semakin gugup ketika ia ingat akan mengungkapkan perasaannya kepada Danis.
Dengan detak jantung yang tak karuan, Luna membalikkan badan. Menghadap kepada Danis. Namun, matanya membulat ketika Danis datang tidak sendirian. Tetapi, dengan seorang gadis. Danis melambaikan sebelah tangannya, tangan satunya ia gunakan untuk memegang payung. Memayungi dirinya dan gadis yang berada di sebelahnya.
Napas Luna tercekat. Luna menyingkirkan pikiran negatif yang tiba-tiba hinggap di otaknya. Mungkin itu temannya, pikir Luna. Luna mencoba tersenyum ketika Danis dan gadis tersebut berjalan ke arahnya.
“Aku kira kamu nggak dateng.”ucap Danis dengan senyum yang merekah. Luna jarang sekali menemukan Danis tersenyum seperti itu.
“Mana mungkin aku nggak dateng, Kak.”jawab Luna dengan nada lirih dan berusaha tersenyum meski pikirannya masih menerka-nerka siapa gadis yang datang bersama Danis.
“Oh iya kenalkan, ini Bella, istri aku.”ucap Danis yang membuat jantung Luna melemas. Mata Luna membulat, terasa panas. Hatinya mencelos. Genggaman tangannya pada payung miliknya sedikit melonggar. Luna menggigit bibir bawahnya dengan keras, berusaha menahan tangisnya yang siap tumpah.
Luna tidak menyangka, bahwa Danis sudah menikah. Selama ini dia tidak pernah bercerita apapun tentang itu. Luna merasa bodoh. Seharusnya, Luna tahu bahwa Danis sudah menikah atau sudah mempunyai kekasih.
Gadis bernama Bella itu tersenyum ke arah Luna. Mengulurkan tangannya. Luna pun membalasnya dengan hati yang terkoyak. Tersenyum simpul meski hatinya diremas.
“Dia cantik, seperti yang kamu ceritakan.”ucap Bella. Suaranya begitu lembut. Pantas saja Danis bisa langsung bertekuk lutut. Luna tersenyum miris memikirkan hal itu.
“Dia sama seperti Nana kan? Cuman sedikit lebih dewasa. Mereka berbeda.Tapi, aku sudah menganggapnya sebagai adikku sendiri.”balas Danis. Membuat hati Luna semakin tercabik-cabik. Danis hanya menganggapnya sebagai adik. Seharusnya Luna sudah tahu sejak awal. Ia bukan apa-apa, ia hanya dianggap adik tidak lebih. Napas Luna mulai terputus-putus.
“Kamu kemarin tanya kan Lun, kenapa aku seneng banget? Itu karena Bella mau rujuk sama aku. Selama ini aku gagal menjadi seorang suami yang baik, sibuk kerja, tanpa peduli sama Bella. Namun, setelah bertemu kamu, aku sadar bahwa seorang wanita apalagi seorang istri memang harus dijaga bukan ditelantarkan. Aku membuktikkan itu sama Bella, dan ia luluh. Makasih banyak, Luna. Kamu kasih aku pengalaman berharga.”jelas Danis sambil mengacak pelan rambut Luna. Membuat lutut Luna melemas. Mulutnya terkatup rapat. Tak sanggup membalas ucapan Danis.
“Kamu cantik, hatimu baik, jarang ada gadis seperti kamu, Luna.”ucap Bella sambil memeluk Luna. Luna berusaha keras agar ia tidak menangis. Ia tidak ingin menunjukkan ia sedang terluka. Tidak.
Setelah, Luna dan Bella sudah selesai berpelukan. Tiba-tiba ada seorang gadis kecil yang datang menghampiri mereka bertiga. Gadis kecil itu dipayungi oleh ibu-ibu setengah baya.
“Ma, Pa... kok lama, Nila, bosen di mobil telus..”ucap gadis kecil itu polos sambil meminta untuk digendong oleh Danis. Hati Luna yang sudah hancur semakin hancur. Danis sudah mempunyai anak. Astaga, kemana saja ia selama ini? Tidak mengenal secara mendalam kehidupan Danis dan seenaknya jatuh cinta pada suami orang.
“Luna, kenalkan ini Nila, putri aku sama Bella. Nila, kenalan gih sama tante Luna.”kata Danis sambil menggendong Nila dan mencium pipi chubby gadis kecil itu.
“Alo tante cantik. Aku Nila. Salam kenal.”ucap Nila dengan nada riang. Mendengar itu, Luna hanya tersenyum kecil. Nila begitu mirip dengan Bella, namun matanya sama persis seperti Danis.
“Ini ibu aku, Lun. Mertua Danis. Yang rumahnya bercat pink depan kos kamu.”kata Bella memperkenalkan ibu-nya. Luna hanya tersenyum kecil, dan mencium punggung tangan ibu Bella sebagai sopan santun. Sekarang terjawab sudah. Danis sering ke rumah itu untuk membujuk Bella yang kemungkinan kabur ke rumah ibunya. Dada Luna semakin sesak. Ibu Bella juga tersenyum membalas senyuman Luna.
“Oh iya Luna, aku juga ingin kasih tahu. Mungkin, kita nggak bakal ketemu lagi, Lun.”kata Danis sambil menatap Luna dengan pandangan meminta maaf. Luna menahan napasnya, menunggu Danis melanjutkan kata-katanya.
“Besok, kami semua akan berangkat ke Bali. Aku dipindah tugaskan kesana, maaf baru kasih tahu kamu sekarang, Lun.”ucap Danis penuh sesal. Air mata Luna siap merebak. Danis kemudian maju lalu memeluknya dengan satu tangannya yang bebas. Membuat Luna tidak bisa menahan tangisnya. Luna menumpahkan tangisnya di bahu Danis. Danis menepuk-nepuk punggung Luna. Berusaha menenangkan Luna. Luna semakin terisak. Ini pertama kalinya Danis memeluknya, pelukan pertama sekaligus pelukan terakhir.
Danis melepaskan pelukannya, “Jangan menangis, suatu saat kita akan bertemu lagi. Aku tidak menyesal bertemu denganmu, Luna. Kamu bener-bener adik yang aku sayangi.”ucap Danis sambil mengusap air mata Luna. Hati Luna semakin sakit mendengarnya. Ia tahu ia sudah tidak bisa mendapatkan dan memiliki Danis, tetapi kenapa takdir membuatnya berpisah dengan Danis. Membuatnya tidak bisa melihat laki-laki yang sangat ia cintai.
“Sampai jumpa, Luna.”ucap Danis lirih sambil menarik pelan hidung Luna untuk terakhir kalinya. Bella mengusap bahu Luna dengan pandangan sedih. Sedangkan Nila melambaikan tangannya kepada Luna. Ibu Bella hanya mengangguk sebagai ucapan perpisahan lalu menggandeng tangan mungil Nila. Keluarga kecil itu menjauh. Meninggalkan Luna dibalik hujan yang deras. Luna tidak sanggup melihat punggung Danis yang semakin menjauh. Ia belum siap kehilangan Danis, ia ingin berteriak kepada Danis agar tidak pergi. Memeluknya erat agar dia masih mau tetap di sini. Di sampingnya. Namun, ia tahu. Itu tidak mungkin.
Luna menjatuhkan payung dan juga kado untuk Danis ketika mobil Danis sudah berjalan pelan meninggalkannya. Luna kemudian terhuyung dan duduk di sebuah tempat duduk yang terbuat dari semen. Tangis Luna semakin pecah ketika menyadari tempat ini adalah tempat pertama kali ia dan Danis saling berkenalan dan memulai pembicaraan. Luna menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Bahunya terguncang keras. Ia belum siap. Ia harap ini hanya mimpi. Dadanya kembali sesak. Tangisnya tak kunjung berhenti. Luna tidak peduli jika tubuhnya basah kuyup. Tidak peduli jika ia sakit lalu mati. Hatinya sudah mati, semenjak Danis, cinta pertamanya, meninggalkan dirinya. Tangis Luna semakin kencang.
Belum sempat ia mengungkapkan. Belum sempat ia menunjukkan. Namun, ia sudah kehilangan. Ia terlambat. Kalau saja ia mencari tahu tentang Danis sejak awal, mungkin jadinya tidak akan seperti ini. Ia tidak akan jatuh cinta terlalu dalam kepada Danis.
Luna masih terisak. Hatinya masih sakit. Ia sangat terluka, dan ia sendiri tidak tahu kapan luka itu akan sembuh tanpa kehadiran Danis. Walau pasti akan terasa perih mengetahui Danis sudah dimiliki oleh orang lain. Namun, akan lebih sakit, jika Luna tidak bisa melihat Danis sama sekali. Ia sudah terbiasa dengan kehadiran lelaki itu.
Luna berdiri dengan lemas. Mengadahkan kepalanya menatap langit yang kelabu. Sekelabu hatinya. Ia pertama kali bertemu Danis di saat hujan, tetapi di saat hujan juga Luna kehilangan Danis. Pemilik hatinya.
Dengan perlahan, Luna beranjak dari tempat itu. Tempat kenangannya bersama Danis. Luna meninggalkan tempat itu seolah-olah ia juga meninggalkan semua kenangannya bersama Danis. Langkahnya gontai dan tak tentu arah. Pandangan matanya kosong, sekosong hatinya sekarang.
Hadiah untuk Danis dan payung milik Luna tergelatak begitu saja di dekat tempat itu. Diam tak bergerak di tengah hujan. Menjadi saksi bisu cinta Luna pada Danis yang belum terungkapkan. Menjadi simbol kenangan antara Luna dan Danis.



2 komentar:

  1. owalah ris... ris... mbok yo sing happy ending sithik to :(
    sip ris :) kamu banget pokok e iki

    BalasHapus
  2. duh, sek belum nemu feel bt happy ending -_-
    wahh iyo ta? sek enek unsur koreane nggak?

    makasih ya udah komennn <3

    BalasHapus