expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Kamis, 24 April 2014

Sandaran Terindah

Sandaran Terindah
By lotusathene

Saat kau jatuh cinta dan berusaha untuk mengungkapkannya, harapan pertama yang kau panjatkan bukan agar dia yang kau cintai membalas perasaanmu dan kau bisa menjadi kekasihnya. Namun, berharaplah bahwa dia akan terus berada di sisimu. Bisa melihatnya. Dan bisa menjadi tempat dia yang kau cintai untuk bersandar. Sakit, tentu saja. Namun, akan lebih sakit jika dia menjauh darimu dan kau tak akan pernah melihatnya. Menjadi, tempat bersandarnya adalah takdir terindahku - Sora


Tak ada yang tahu bagaimana akhir sebuah kisah cinta....

Sora memandang pemandangan kota Malang di balik jendela apartemennya. Pemandangan langit sore yang indah dan juga pemandangan tenggelamnya matahari. Ya, Sora begitu menyukai saat matahari mulai tenggelam. Seolah-olah ia ikut tenggelam di dalamnya.
“Soraaaaa”teriak seorang laki-laki yang membuat Sora hampir terkena serangan jantung. Sora berbalik dan menatap malas laki-laki yang berada di hadapannya sekarang. Laki-laki itu adalah Max. Siapa lagi, Sora sudah hapal dengan suara bass dan menggelegar milik laki-laki itu.
Melihat ekspresi Sora, Max hanya mengeluarkan cengiran khas miliknya. Membuat Sora yang melihatnya hanya menghembuskan napas pelan. Sora berjalan menuju ruang tamu apartemennya kemudian duduk.
“Ada apa?”tanya Sora tanpa mempersilahkan Max duduk. Melihat itu, Max jadi salah tingkah sendiri. Ia merasa tidak enak karena menganggu kegiatan ‘melamun’ Sora.
“Ehm, begini... aku sudah selesai menyebarkan undangan pernikahan..”jawab Max sambil duduk di sebelah Sora. Sora menoleh ke arah Max. Menatap laki-laki itu dalam. Dan penuh arti.
“Kau pasti kelelahan, kan?”tanya Sora yang masih memandangi Max. Max menoleh menatap Sora, lalu tersenyum. Max tahu hanya Sora yang mampu memahami dirinya. Ia senang Sora masuk ke dalam kehidupannya. Mengisi hari-harinya. Mewarnai hari-harinya yang dulu kelabu. Sora seperti seorang malaikat baginya.
Melihat senyum itu. Hati Sora bergetar. Entah kenapa ada aliran listrik yang mengalir ke tubuhnya melihat Max tersenyum. Ia sangat menyukai saat Max tersenyum. Ia tidak ingin Max dingin dan murung seperti dulu. Ia berharap dalam hati bisa terus melihat Max tersenyum. Selamanya...
“Biar aku ambilkan minum”jawab Sora sambil tersenyum dan mulai beranjak dari sofa.
Max melihat jam tangannya, matanya membulat. “Tidak. Maksudku tidak usah. Kita tidak ada waktu.”teriak Max dan langsung menarik pergelangan tangan Sora. Membuat Sora berteriak sekaligus terkejut.
“Ya! Kau akan membawaku kemana?”teriak Sora yang terus berusaha melepaskan pergelangan tangannya dari genggaman Max. Namun, hasilnya nihil. Genggaman tangan Max terlalu kuat.
“Akan kuceritakan di jalan”jawab Max tergesa-gesa seraya menutup pintu apartemen Sora. Dengan cepat, Max menarik Sora ke arah lift dan langsung memencet tombol lift menuju lantai paling bawah. Menuju basement apartemen tersebut. Tempat mobil Max terparkir.

Di sebuah butik ternama di Malang...
Sora mendengus sebal ketika mengetahui kemana Max membawanya pergi. Ke sebuah butik. Bukannya Sora tidak suka, tetapi Max membawanya ke sini bukan untuk berbelanja melainkan untuk mencoba baju pengantin. Sora duduk dengan asal di sebuah sofa yang disediakan di butik tersebut. Menunggu Max yang sedang mencoba sebuah setelan tuxedo.
Tirai terbuka, memperlihatkan Max yang tampak gagah dengan tuxedo hitam yang ia kenakan. Sora memandang dengan tatapan sulit diartikan. Max sangat tampan, begitulah yang ada di pikiran Sora. Hanya memakai kaos dan celana jeans saja Max sudah tampan, apalagi memakai tuxedo.
Para pelanggan yang di dominasi oleh kaum hawa ikut memandang Max dengan tatapan memuja. Wanita mana yang tidak suka melihat laki-laki seperti Max. Max bak model dengan tingginya yang mencapai 183 cm. Wajahnya memang tergolong seperti orang China, tetapi masih terdapat unsur Indonesia di dalamnya. Kulitnya putih namun tidak terlalu pucat. Alisnya tebal dipadu dengan mata sipit yang akan membentuk bulan sabit ketika ia tersenyum dan sangat tajam ketika melihat sesuatu. Rahangnya begitu tegas menambah kesan manly. Ditambah dengan rambut hitam-kecoklatan dengan potongan acak-acakan rapi yang semakin membuat kaum hawa yang melihatnya leleh. Tidak terkecuali Sora.
Max turun dan berjalan pelan menuju ke hadapan Sora. Membuat jantung Sora berdetak tak karuan. Sora benar-benar akan mengutuk Max karena berani membuat jantungnya tak bisa dikontrol seperti sekarang.
“Aku tahu aku tampan, jangan memandangku dengan tatapan memuja seperti itu”goda Max yang sukses membuat pipi Sora merah merona. Demi menutupi kegugupannya, Sora meninju pelan perut Max. Membuat Max terkekeh geli dan mengacak-acak rambut Sora. Membuat Sora semakin salah tingkah. Dan tentu saja membuat pengunjung wanita iri bukan main terhadap Sora.
“Sekarang giliranmu”ucap Max sambil mengeluarkan smirk khasnya.
“Apa?”tanya Sora tak mengerti seraya mengangkat sebelah alisnya. Max segera menarik Sora ke arah kamar ganti. Membuat Sora bingung bukan main. Apa yang dipikirkan lelaki ini, batinnya.
“Mbak, tolong pakaikan nona ini dengan baju pengantin yang saya tunjukan tadi ya”ucap Max kepada sang petugas butik. Sang petugas butik itu hanya tersenyum dan menangguk. Kemudian petugas wanita itu menyeret Sora yang sudah membulatkan matanya lebar-lebar dan menatap Max dengan tatapan ‘kau ingin mati’. Max hanya bersiul-siul tanpa dosa.
5 menit...
10 menit...
15 menit...
20 menit...
Max sudah menguap kesekian kalinya, melihat tirai di depannya masih tertutup. Yang bertanda Sora belum juga selesai mencoba gaun pengantin yang Max pilihkan. Max berdiri untuk menghilangkan bosan. Berjalan mondar-mandir seperti orang yang sedang mencari ide. Tepat pada saat Max sudah mondar-mandir untuk yang kelima kalinya, tirai terbuka. Max menoleh. Matanya membulat tak percaya.
Sora terlihat anggun dan cantik memakai gaun pengantin. Max tak percaya bahwa Sora bisa terlihat semenawan itu terlepas dari pakaian Sora yang selalu mengenakan celana jeans, yang Sora katakan itu image sebagai seorang penulis.
Sora menunduk malu. Ini pertama kalinya ia mengenakan gaun. Dan gaun pengantin pula. Gaun itu memperlihatkan bahu dan kaki jenjangnya. Bagian depan gaun itu memang sengaja dibuat pendek dan panjang pada bagian belakangnya, seperti dibuat untuk ekor gaun tersebut. Rambut Sora ditata rapi dengan mahkota yang membingkai rambutnya. Serta sebuah tiara yang memang sengaja tidak diletakkan di depan untuk menutupi wajah Sora.
Max melihat Sora dari bawah sampai ke atas. Max juga baru pertama kali melihat Sora memakai gaun. Max tidak menyangka bahwa Sora begitu cantik dan.. begitu menggoda. Max menggelengkan-gelengkan kepala untuk menghilangkan pikiran kotornya.
Max berdeham lalu berjalan mendekati Sora. Membuat Sora makin salah tingkah dan malu bukan main. Dengan cepat Sora membalikkan badannya menghadap cermin. Ia tidak ingin Max melihat wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus.
“Ternyata kau cantik juga jika memakai gaun”ucap Max dengan kekehan kecil. Sora terperanjat mengetahui fakta Max sudah berada di belakangnya bahkan sangat dekat dengannya. Bahkan saat Max berbicara tadi, Sora bisa merasakan hembusan nafas Max. Membuat Sora merinding sendiri. Tanpa Sora sadari, Max terus saja memandang wajah Sora lewat cermin di depan mereka.
Sora menetralkan detak serta napasnya. Dan menyikut perut Max pelan, cara yang ia biasa lakukan untuk menutupi kegugupannya jika berada di dekat Max.
“Kau ingin mengejekku?”tanya Sora dengan mimik wajah yang pura-pura kesal. Membuat Max tersenyum kecil melihatnya. Max terdiam sebentar, andai Sora tahu bahwa Max begitu jujur mengatakannya. Max juga merasa aneh. Kenapa jantungnya tiba-tiba tidak bisa terkontrol begini. Max lagi-lagi menggeleng-gelengkan kepalanya. Membuang pikiran aneh yang tiba-tiba memenuhi otaknya.
“Wah, kalian berdua terlihat serasi”ucap salah satu petugas yang membuat Sora dan Max saling berpandangan lewat cermin.
“Bolehkah kami mengambil gambar kalian untuk kenang-kenangan?”tanya petugas wanita tadi. Max dan Sora membalikkan badan mereka dan saling pandang. Dan saling meminta jawaban.
Max menatap petugas wanita itu dan mengangguk, membuat Sora membelalakkan matanya. Petugas wanita itu tersenyum puas lalu segera mengambil ponsel yang berada di dalam saku roknya.
“Saya ingin kalian terlihat mesra, boleh?”tanya petugas wanita itu lagi. Membuat Sora ingin sekali mencakar wajah petugas wanita yang menurutnya terlalu banyak menuntut itu.
Mendengar itu, Max tersenyum dan langsung memeluk pinggang Sarah mesra. Max sendiri tidak tahu kenapa ia melakukannya, ia hanya reflek. Merasakan tangan Max di pinggangnya, Sora menatap Max. Membuat Max juga menatap Sora. Max hanya tersenyum. Senyum yang menurut Sora berbeda dari biasanya.
Klik
“Wah, benar-benar romantis”kata petugas itu girang setelah selesai memotret Max dan Sora. “Lihatlah, kalian begitu tampak romantis ketika berpandangan seperti tadi. Seolah-olah kalian berbicara lewat isyarat mata”ujarnya lagi.
Max dan Sora hanya tersenyum kecil. Sora kemudian menatap Max dengan tatapan sebal.
“Kenapa kau lakukan ini?”protes Sora. Dengan refleks, Max semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Sora.
“Bukankah kita akan menjalani kehidupan yang baru bersama-sama?”tanya Max polos. Sora terdiam sejenak mendengar itu. Ia mengigit bibir bawahnya. Ya, ia harus kembali ke sebuah kenyataan. Dadanya tiba-tiba merasa sesak. Dengan gerakan pelan, ia melepaskan tangan Max yang berada di pinggangnya. Membuat Max mengangkat sebelah alisnya.
“A-aku harus segera kembali... naskah novelku harus segera kuselesaikan sebelum deadline tiga hari lagi. Maaf.”Sora langsung berlari mengambil pakaiannya dan menuju ruang ganti lain. Setelah selesai, Sora segera berlari cepat menuju pintu keluar tanpa menghiraukan teriakan Max dari dalam butik.

Sora menangis keras di dalam kamarnya. Mematikan semua lampu apartemennya. Agar ia tertelan di dalam kegelapan. Tertelan dalam sakit hatinya. Ia tahu, tidak seharusnya ia merasakan perasaan ini. Tidak seharusnya ia memendam perasaan ini. Ia harus menerima kenyataan. Dan melupakan semuanya.
Sora terlihat rapuh dan terduduk di lantai kamarnya. Menekuk lututnya dan menenggelamkan wajahnya yang basah karena air mata. Apakah sesakit ini memendam perasaan kepada teman sendiri? pikir Sora. Sora seharusnya menuruti perkataan Nia, sahabatnya. Jika kau menyukai seseorang, cobalah untuk mengungkapkannya, jangan hanya dipendam. Jika tidak, kau harus siap ia menjadi milik orang lain. Kata-kata Nia tiga tahun silam kembali memenuhi otaknya. Membuat hatinya yang hancur semakin hancur. Tak bersisa. Tangisannya begitu menyayat di bawah sinar bulan yang terlihat dari balik jendela kamarnya.
Sora mencintai Max. Itu sudah jelas dan sudah terlihat. Dari cara Sora menatapnya, yang selalu berusaha di samping Max jika laki-laki itu membutuhkannya. Tapi... Sora terlambat. Sangat terlambat. Dan Sora menyesali kebodohannya. Seharusnya ia menuruti saran Nia. Bukan malah memendamnya sampai seperti ini. Ia tahu Max tak akan pernah menjadi miliknya. Mereka tak akan pernah bersama. Mereka ditakdirkan untuk berteman.
Di depan Sora, terdapat sebuah undangan berwarna pink yang terbuka. Memperlihatkan foto sebuah pasangan yang begitu serasi dan mesra. Di bawah foto tersebut tercetak sebuah nama kedua mempelai. Max Dirgantara dan Victoria Rumi.



Max berdiri di balkon apartemennya menatap kosong pemandangan di hadapannya. Semenjak kejadian beberapa hari lalu di butik, Sora seperti menghindar darinya. Sora tidak pernah membalas pesan yang Max kirimkan untuknya. Setiap kali di telepon, Sora selalu beralasan ia sedang sibuk. Hal itu membuat Max frustasi. Entah, Max sendiri merasa bingung kenapa ia bisa merasa frustasi ketika Sora menghindarinya. Mungkin, Max sudah terbiasa dengan kehadiran Sora di sampingnya. Mungkin...
Max tersentak ketika ada sepasang tangan yang memeluk pinggangnya. Max juga merasakan ada kepala yang menempel di punggungnya. Tanpa Max berbalik pun, ia tahu siapa yang memeluknya. Victoria, kekasihnya yang akan segera menjadi istrinya.
“Kau memikirkan apa? Sampai-sampai kedatanganku tak kau gubris.”ucap Victoria dengan nada kesal.
Max hanya tersenyum kecil dan segera melepas tangan Victoria, lalu berbalik untuk menatap kekasihnya itu. Tangan Max langsung terulur untuk mengelus pipi Victoria dan langsung menarik kekasihnya itu ke dalam pelukannya.
“Maafkan aku ya”ucap Max dengan nada lembut. Membuat Victoria mengangguk dan tersenyum di dalam pelukan Max.
“Kau tidak boleh terlalu banyak pikiran, dua minggu lagi kita akan menikah”balas Victoria dengan nada lembut dan menenangkan. Namun, kenapa kata-kata Victoria yang barusan, tidak membuat Max merasa tenang seperti biasanya.
Ada perasaan aneh menulusup pada hatinya. Dan entah kenapa bayangan Sora melintas di dalam otaknya. Bayangan tatapan mata Sora beberapa hari lalu. Yang terlihat terluka. Tetapi, kenapa Sora terluka? Apa karena keberangkatannya ke Jepang setelah Sora menghadiri pernikahannya nanti? Namun,tidak mungkin. Bukankah itu impian Sora bisa pergi dan bekerja di Jepang? Bukankah Sora bahagia karena mereka akan mencapai kehidupan yang baru bersama-sama? Lalu, kenapa? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala Max.
Tanpa Victoria sadari, dada Max merasa sesak. Sesak yang tidak tahu apa alasannya. Yang jelas, berhubungan dengan Sora.

Max sampai di depan apartemen Sora. Max tidak mau frustasi terus menerus. Ia ingin melihat Sora. Ia ingin menuruti kata hatinya, untuk berada di samping Sora. Jujur saja, Max begitu merindukan temannya itu. Teman yang selalu ada ketika ia membutuhkan bahu untuk bersandar.
Max memencet bel berkali-kali, namun Sora tak kunjung keluar dari apartemennya. Max berpikir keras dan mencoba menekan tombol kode pintu apartemen Sora. Max tahu karena ia sering bermain ke apartemen Sora. Semoga ia tak mengganti passwordnya, batin Max penuh harap. Dengan tangan gemetar, Max menekan digit-digit angka yang sudah ia hapal. Sekitar semenit menunggu, tombol berubah berwarna hijau. Tanda, bahwa Max benar memasukkan passwordnya. Max menghembuskan nafas lega dan segera membuka pintu apartemen Sora.
“Sora..”panggil Max. Namun, tak ada jawaban. Mungkin Sora sedang keluar, pikirnya. Max berjalan ke arah ruang tamu. Namun, saat ingin duduk, Max melihat pintu kamar Sora yang terbuka sedikit. Max mengernyitkan dahi, tak biasanya Sora membuka pintu kamarnya saat pergi.
Max berjalan perlahan mendekati kamar Sora. Membuka pintunya ketika ia sudah sampai di hadapan pintu kamar Sora. Max gugup. Tentu saja, ini pertama kalinya ia masuk ke kamar Sora. Sora tak pernah mengijinkannya masuk ke kamar.
Kamar Sora begitu berantakan, pikir Max. Max melihat sekeliling kamar Sora. Terlihat simpel, persis seperti Sora. Max mulai masuk. Ia menggelengkan kepala ketika tahu Sora lupa mematikan laptop miliknya. Max berjalan ke arah tempat tidur, dan duduk di tepiannya. Max ingin merasakan aura Sora ditempat tidur ini.
Max menoleh ke arah meja nakas, tersenyum melihat sebuah bingkai foto yang memperlihatkan senyum konyol dia dan Sora. Max ingat foto itu. Foto itu di ambil sekitar setahun yang lalu, ketika ia dan Sora mengunjungi Secret Zoo. Max tersenyum dan berusaha mengambil foto itu. Namun, tanpa sengaja, Max menyenggol sebuah buku kecil mirip diary yang letaknya di belakang foto itu.
Max segera meletakkan foto itu kembali dan mengambil diary itu. Max tahu, ini pasti diary milik Sora. Sora memang suka sekali menulis diary. Max bimbang ingin membukanya atau tidak. Namun, dia penasaran apakah Sora pernah menulis tentangnya atau tidak dalam diary itu. Dengan ragu-ragu Max membuka halaman pertama diary milik Sora.

4 Februari 2005..
Ya Tuhan, dia menangis. Sungguh, aku tak tega melihatnya. Ya Tuhan, jangan buat dia menangis seperti ini. Ingin sekali aku memeluknya dan mengatakan semua baik-baik saja. Ayahnya pasti akan sedih melihatnya seperti ini. Jangan menangis.. aku mohon.

Max tertegun sebentar dengan halaman pertama diary tersebut. Tanggal itu... adalah tanggal dimana Max kehilangan ayahnya untuk selama-lamanya. Kehilangan sosok yang selalu menjadi idola Max. Sosok yang Max banggakan. Sora terlihat ikut bersedih karena kertas itu – walau sudah lama – tetap memperlihatkan bekas air mata. Dengan tangan bergetar, Max membuka halaman selanjutnya.

23 Maret 2005...
Dia berubah murung setelah kejadian itu. Aku tak sanggup melihatnya. Ya Tuhan.. kembalikan keceriannya seperti dulu. Aku rindu ketika dia tersnyum...

Max membalikkan halaman diary milik Sora. Dengan perasaan yang... tidak menentu. Melewati beberapa halaman yang menurutnya tidak terlalu penting. Karena Max tahu, yang Sora tuliskan selalu Sora ceritakan terlebih dahulu padanya. Max hanya ingin tahu, bagaimana Sora menggambarkan dirinya. Max ingin tahu rahasia Sora dibalik senyum dan matanya. Max ingin tahu lebih dalam tentang Sora, teman kecilnya...

22 Januari 2006
Akhirnya dia kembali tertawa... Aku sangat bahagia melihatnya. Sudah lama aku merindukan tawa khas miliknya. Max yang dulu telah kembali...

2 Juni 2006...
Senang rasanya bisa lulus dengan nilai terbaik. Ah~ bahkan Max bukannya malah memberi selamat malah membullyku. Astaga... Namun, tidak apa. Selama ia tersenyum aku rela menjadi bahan bully-annya haha..

10 Juli 2006
Yeayy, kami diterima di Universitas yang sama. Walau berbeda jurusan, tak apa yang penting masih satu fakultas. Ah senangnya, bisa melihat dia setiap hari hehe

2 Februari 2007...
Dia mengikuti perlombaan futsal hari ini. Aku rela membolos kuliah demi mendukungnya. Kedatanganku tak sia-sia, karena Max bersama timnya menjadi juara satu. Dan... Max untuk pertama kalinya memelukku dengan bahagia... Astaga, jantungku....

7 Februari 2007
Setelah kejadian itu, aku selalu gelisah. Sebenarnya, hal ini sudah lama terjadi. Aku selalu merasa jantungku tak terkontrol ketika berada di dekatnya. Apa aku.... mulai jatuh cinta padanya?
14 Maret 2007
Aku berusaha mencari tahu tentang perasaanku sebulan belakangan ini. Dan, ternyata benar.. aku mencintai Max, teman kecilku sendiri. Apa ini sebuah kesalahan?

16 Maret 2008
Sudah setahun lebih aku memendam perasaanku padanya. Aku sungguh takut untuk mengungkapkannya. Ya Tuhan, aku harus bagaimana?


6 November 2008
Happy birthday Max :D Semoga kau selalu sehat, panjang umur, dan sukses selalu. Aku mencintaimu, sungguh. Meski kau tak tahu... Aku akan berusaha selalu ada di sampingmu. Menjadi tempatmu bersandar.

3 Januari 2009
Banyak sekali yang menyukai Max. Entahlah, aku mungkin mulai cemburu. Yang membuatku sebal adalah Max akan mulai melupakanku ketika dia sedang dikerubuti oleh cewek-cewek itu. Max, bisakah kau melihatku?

31 Desember 2009
Max mengajakku ke sebuah tempat yang disebut orang-orang sebagai bukit bintang. Katanya, akan jauh lebih indah jika melewatkan tahun baru di sini. Sungguh, indah sekali pemandangannya. Max merangkul pundakku, membuatku mati rasa. Astaga Max, bisakah kau berhenti membuatku jadi salah tingkah? Thanks udah bawa aku ke bukit indah itu, aku tak akan melupakannya. Aku mencintaimu.. selalu

22 Februari 2010
Hari ini Max marah padaku karena aku lebih memilih pergi bersama Nico, teman sekelasku, daripada pergi bersamanya. Bahkan, dia sampai memaksa dan menyeretku menjauhi Nico. Sempat terjadi adu mulut antara Max dan Nico. Namun, Max langsung membawaku masuk ke dalam mobilnya. Max terlihat kesal. Apa dia cemburu? Max.. apa kau cemburu pada Nico?

5 Juli 2010
Lagi-lagi Max marah padaku. Sama seperti waktu itu. Dia bahkan sempat melontarkan kata-kata kasar kepadaku. Membuatku takut dan menangis. Dia sepertinya merasa bersalah, dan langsung memelukku erat. Dia berkata, jika ia tak suka aku dekat dengan laki-laki lain. Max ingin aku tetap di sampingnya. Max, apa kau tahu kata-katamu membuatku berharap besar padamu?

5 Mei 2011
Sudah berapa tahun aku mencintai Max tanpa berbuat apapun. Aku pun menceritakan semua pada Nia, sahabatku. Nia bilang bahwa lebih baik aku mengungkapkannya sebelum Max menjadi milik orang lain. Haruskah?

23 Agustus 2011
Aku selalu memikirkan kata-kata Nia. Haruskah aku mengungkapkannya? Namun, jika tidak, apa aku rela melihat Max bersama orang lain? Tidak hanya kau, Max. Aku juga ingin kau selalu berada di sampingmu, aku tidak ingin hanya sekedar sebagai temanmu. Bolehkah aku berharap seperti itu?

23 April 2012
Max lagi-lagi marah kepadaku karena hal serupa. Beruntungnya, ia tak melontarkan kata-kata kasar seperti waktu itu. Namun, dengan seenaknya yang entah aku bingung harus marah ataupun senang, dia mengklaimku sebagai miliknya di hadapan Fano, orang yang (gosipnya) menyukaiku. Max, apakah kamu benar-benar menyukaiku?


13 Juli 2012
Aku seperti tertimpa tangga saat mendengar pernyataan Max bahwa dia sedang menyukai seseorang dari fakultas lain. Dia mengatakannya begitu ceria, haruskah aku menangis di depan dia saat dia seceria ini? Ya Tuhan.. lalu, apa arti kata-katanya waktu itu?

17 September 2012
Apa yang aku takutkan terjadi.. Max sudah berpacaran dengan Victoria, gadis yang ia sukai. Rasanya, aku ingin bumi menelanku. Aku tak sanggup. Max, kenapa harus begini? Kenapa kau memberi harapan kepadaku dan langsung menjatuhkanku begitu saja?

31 Januari 2013
Aku berusaha mulai membiasakan diri..sekeras mungkin. Sekeras mungkin aku tersenyum saat dia menceritakan tentang hubungannya dengan Victoria. Sekeras mungkin menahan air mataku saat mereka bersama.. Sekeras mungkin menghilangkan perasaanku padanya.

14 Mei 2013
Aku tak sanggup lagi. Aku sudah berusaha untuk menutup mata dan telingaku. Menutup hatiku rapat-rapat. Mencoba ingat pada kenyataan yang ada. Bahwa Max sudah memiliki orang lain. Lalu, bagaimana denganku? Kenapa kau begitu egois Max? Kau bebas dengan siapa saja, tetapi aku? Kau tak pernah rela aku dekat dengan orang lain, kau mengikatku Max

10 Agustus 2013
Max bilang dia sudah melamar Victoria dan akan segera menikahinya... benarkah aku sudah terlambat? Max memelukku erat, aku tersenyum di dalam pelukannya. Walau dalam hati, aku menjerit keras. Penantianku tak ada artinya sudah... aku berusaha ikhlas melepas Max, walaupun sulit. Aku hanya mampu berdoa untuk kebahagiaan keduanya.

Max mengatupkan rahangnya. Ia masih tak percaya bahwa, Sora.. mencintainya. Dari dulu hingga kini. Jadi, inikah arti tatapan mata Sora? Inikah yang selalu Sora sembunyikan darinya. Max memegang buku diary Sora erat.
“Max, sedang apa kau di sini?”tanya sebuah suara mengagetkan Max.

Sora memergoki Max berada di kamarnya. Max sempat terkejut namun langsung menatap matanya tajam. Firasat Sora tiba-tiba tidak enak. Sora terkejut melihat tangan Max yang memegang buku diary-nya. Tidak... jangan... jangan sampai Max membacanya.
Max dengan langkah pelan berjalan mendekati Sora yang berdiri di ambang pintu. Matanya terus menatap tajam mata Sora, membuat Sora bergidik. Sora tahu, Max sudah membaca semua isi diarynya. Ini bahaya, batin Sora.
Max sampai di hadapan Sora membuat Sora menelan ludah dengan susah payah. Mata Max terfokus tajam pada mata Sora. Seolah-olah Max tak akan pernah melepaskan Sora dan siap menghakiminya.
“Apa maksud isi diarymu ini?”tanya Max dingin. Tangannya terus mencengkeram buku diary Sora.
Sora hanya diam tak mampu menjawab. Tidak, Sora tidak ingin menjawab. Percuma jika ia menjawab, sama sekali tak akan merubah keadaan.
“Apa kau benar-benar mencintaiku? Sejak kapan?”tanya Max lagi. Nadanya masih tetap saja dingin. Sora hanya mampu menundukkan kepalanya, ia tak ingin Max melihat ia yang sedang berusaha keras menahan air matanya.
“JAWAB AKU SORA!”bentak Max yang langsung membuat Sora meneteskan air matanya. Max membuang buku diary Sora kasar. Kedua tangannya mencengkeram bahu Sora erat.
“JAWAB AKU! SEJAK KAPAN KAU MENCINTAIKU? KENAPA KAU MENYEMBUNYIKANNYA DARIKU?”teriak Max frustasi. Tangannya menggoyang-goyangkan bahu Sora keras. Sora terus saja diam, namun air matanya terus mengalir. Sora tak siap menerima situasi seperti ini.
“Aku menganggapmu sebagai sebuah sandaran bagiku. Tapi..kenapa kau malah mencintaiku Sora? Kenapa kau egois? Apa kau ingin menghancurkan hubunganku dengan Victoria?”tanya Max pelan seraya tangannya terus mencengkeram kuat bahu Sora.
Sora tertohok mendengar jawaban Max. Air matanya mengalir deras. Hatinya mencelos. Kenapa Max harus berpikiran sempit seperti itu. Bukankah dia yang egois? Sora terus saja diam. Tanpa melakukan perlawanan walau mendengar Max memojokkannya seperti itu. Mulutnya terlalu sulit untuk bersuara. Hanya air mata yang berbicara.
Dengan kasar Max menghempaskan Sora, membuat Sora terjatuh dan bahunya menatap pintu kamar. Max memandang Sora datar, bahkan ia tidak menolong Sora yang sedang meringis kesakitan.
Max berjalan menuju pintu utama apartemen Sora. Namun, saat diambang pintu, Max berhenti. Membuat Sora menatapnya kosong.
“Aku membencimu, Sora”kata Max dingin dan langsung membanting keras pintu apartemen Sora. Saat itulah, pertahanan Sora runtuh sudah. Ia menangis sekeras-kerasnya. Menekuk lututnya dan menenggelamkan kepalanya. Sora terus saja berteriak, berharap luka di hatinya segera sembuh, walau sedikit. Tangisannya begitu menyayat. Sora begitu terluka. Kata-kata Max tadi bagai membuatnya diseret ke lubang hitam tanpa dasar. Malam tanpa bulan itu, di penuhi dengan suara tangisan dan teriakan Sora.

Dua minggu setelah kejadian itu Max dan Sora tak pernah saling mengubungi. Sora tidak berniat menjelaskannya dan Max tidak berniat meminta maaf pada Sora.
Setelah kejadian itu, Sora bagai mayat hidup yang selalu memaki topeng. Tersenyum ketika bekerja, menangis ketika dia berada di apartemennya. Ia tak mau masalah pribadinya akan merusak karirnya sebagai seorang penulis. Sora tidak mau ada orang lain tahu bahwa ia sedang rapuh. Ia tidak ingin semua tahu bahwa hatinya sudah hancur. Sekalipun hatinya hancur, bodohnya, Sora masih begitu mencintai Max dan merindukan kehadiran laki-laki itu.
Sedangkan Max, dia mencoba untuk fokus untuk rencana pernikahannya. Dua hari lagi, hari sakral itu akan diselenggarakan. Ia tidak ingin mengecewakan Victoria. Jika masalah pernikahan sudah selesai, ia kan menyibukkan diri dengan sesuatu sekalipun itu tidak penting. Max berusaha menghilangkan bayang-bayang Sora yang berada di dalam kepalanya.
Suatu waktu, ketika sedang melamun, Max bergelut dengan hati kecilnya. Benarkah Max memang menyetujui pernikahan ini? Benarkah ini pilihannya? Benarkah ini takdirnya? Max begitu pusing memikirkannya. Hatinya goyah, dan itu dikarenakan oleh Sora.
Max begitu rindu Sora berada di sampingnya. Begitu rindu dengan omelan dan kecerewetan Sora. Rindu dengan cerita-cerita Sora. Ia merindukan Sora. Dan saat itu juga, air mata Max jatuh karena sangat merindukan teman kecilnya itu.

23 Februari 2014
Max terlihat tampan dengan setelan tuxedo hitam. Berdiri gagah di depan sebuah altar gereja, menantikan pengantinnya, Victoria. Max menatap tuxedo-nya sejenak. Tuxedo ini mengingatkannya pada Sora. Max kemudian menatap para undangan yang sudah hadir. Ibunya sedang berbincang dengan kedua orang tua Sora. Lalu, dimana Sora? Kenapa belum kelihatan? Apa dia tidak ingin menghadiri pernikahannya? Ataukah Sora langsung pergi ke Jepang? Max menutup matanya untuk meredam emosi yang seketika itu muncul.
Max mulai membuka mata ketika pembawa acara mengatakan bahwa mempelai wanita sudah tiba. Para undangan pun berdiri untuk menyambut Victoria. Max menatap Victoria yang sudah memakai gaun pengantin. Gaun pengantin yang pernah dikenakan Sora. Wajah Victoria digantikan dengan wajah Sora yang sedang tersenyum. Hati Max mencelos, apakah ia benar-benar merindukan Sora sampai-sampai berkhayal seperti itu? Entahlah, sampai detik ini pun, Max tidak mengerti perasaannya.

Sora melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia tidak boleh terlambat. Sora merutuki dirinya yang bangun kesiangan karena tidak tidur semalaman memikirkan pernikahan Max dan Victoria. Sesekali ia menekan klakson saat ada kendaraan yang tidak segera jalan walau lampu sudah hijau.
Sora melirik sekilas ke arah kaca, berharap make upnya bisa menutupi matanya yang sembab terlebih menutupi hatinya yang harus siap melepas seseorang yang dicintainya selama ini. Sora terus melajukan mobilnya. Pikirannya terlintas wajah Max yang bahagia. Sora amat merindukan Max. Sora mulai melamun ketika pikiran tentang Max menghinggap di otaknya. Sora tidak menyadari laju mobilnya yang semakin hilang arah. Tepat saat Sora selesai melamun, matanya membulat ketika ada sebuah mobil lain yang berkecepatan tinggi datang dari arah berlawanan, dan langsung menabrak mobil Sora. Mobil Sora langsung terbentur keras pada pembatas trotoar jalan. Membuat kepala Sora menatap stir mobil. Membuatnya tak sadarkan diri.
Orang-orang yang melihat langsung membantu mengeluarkan Sora. Kepala Sora mengucurkan darah segar begitu banyak, wajahnya terdapat pecahan kaca. Bajunya juga terkena noda darah. Matanya terpejam. Orang-orang langsung membawa Sora ke dalam sebuah mobil yang diminta warga untuk mengantar Sora ke rumah sakit terdekat.

Max baru saja menerima uluran tangan Victoria. Tersnyum kecil ke arah Victoria. Victoria terlihat begitu bahagia dibalik tiaranya. Pandangan matanya tak pernah lepas dari Max.
Max dan Victoria menatap pendeta yang ada dihadapan mereka. Tangan Victoria begitu erat memegang lengan Max. Sedangkan Max, hanya diam dan memandang lurus ke arah sang pendeta.
Sang pendeta memulai dengan mengucapkan sumpah yang ditujukkan untuk Max. Max dengan lancar dan sedikit susah payah mengucapkan sumpah pernikahan tersebut. Kemudian sang pendeta bertanya sekaligus mengajukan sumpah untuk Victoria. Victoria dengan mantap dan lancar menjawab dan mengucapkan sumpah tersebut.

Sora langsung di bawa ke ruang UGD setelah mobil yang membawanya sampai di rumah sakit. Matanya masih terpejam. Detak jantungnya masih terlihat. Dokter beserta para suster langsung segera melakukan pertolongan pertama pada Sora.
Awalnya, wajah Sora yang terkena kaca dibersihkan terlebih dahulu. Lalu darah yang mengucur dari kepalanya. Dokter memasang alat bantu pernapasan pada Sora. Mata Sora sedikit bergerak. Napasnya tersengal-sengal. Dokter langsung mengambil alat pemacu jantung untuk membuat jantung Sora agar terus berdetak.
“Max..... Max...”gumam Sora lirih. Salah satu suster mendengarnya dan melihat tangan Sora yang seperti menggenggam sesuatu seperti sebuah surat. Suster berusaha mengambil surat itu dari genggaman Sora. Namun, Sora seolah tak mengijinkan dan terus menggenggam erat surat itu.
“Max...Max... Ma-maafkan aku... a-aku..mencintai..mu..”gumam Sora terputus-putus namun bisa terdengar oleh suster yang tadi.

Sang pendeta berkata bahwa Max dan Victoria sudah resmi menjadi suami istri. Max dan Victoria saling berpandangan lalu tersenyum.
“Silahkan mempelai pria dipersilahkan mencium mempelai wanita”ucap Sang pendeta.
Max mulai membuka tiara yang menutupi wajah Victoria. Victoria hanya menunduk lalu menatap bahagia Max. Max mulai mencodongkan badannya dan menarik tengkuk Victoria. Mengecup lembut bibir Victoria dengan bibirnya. Dan melumatnya sebentar.

Napas Sora mulai terputus-putus. Dokter terus memacu jantung Sora agar tetap berdetak. Namun, semuanya berakhir ketika suara pendeteksi jantung berbunyi nyaring. Garis yang awalnya bergelombang perlahan-lahan berubah menjadi lurus. Menandakan jantung Sora yang berhenti berdetak. Napas Sora pun juga ikut berhenti. Sora menutup mata selama-lamanya tanpa melihat langsung kebahagiaan Max.

Max mengambil sebuah cincin untuk dia sematkan di jari manis Victoria. Keduanya tak henti-hentinya tersenyum. Namun, sebelum Max berhasil menyematkan cincin di jari manis Victoria, sebuah teriakan mengangetkan Max dan juga para undangan lainnya. Max melihat ke arah meja yang ditempati oleh ibunya beserta keluarga Sora. Ibu Sora terlihat shock ketika menerima telepon. Kemudian menangis histeris, detik berikutnya Ibu Sora tak sadarkan diri.
Ayah Sora langsung mengambil ponsel dan langsung ditempelkan di telinganya. Mata Ayah Sora membulat, matanya tiba-tiba berkaca. Beliau segera menutup telepon dan menatap kakak laki-laki Sora yang bertanya ada apa. Ayah Sora menjelaskan dengan perlahan, membuat kakak laki-laki Sora ikut terkejut.
Perasaan Max mulai tidak enak. Ia segera berjalan cepat ke arah keluarga Sora. Tanpa memperdulikan Victoria yang sudah resmi menjadi istrinya.
“Ada apa?”tanya Max tampak khawatir melihat raut wajah keluarga Sora. Max memandang wajah kakak laki-laki Sora bernama Reno. Reno balas menatap mata Max dengan mata yang berkaca-kaca.
“Sora..... Sora mengalami kecelakaan. Dan dia... dia me-meninggal...”jawab Reno tergagap-gagap. Max tanpa sadar menjatuhkan cincin pernikahannya mendengar berita itu. Matanya mulai memanas. Ia menggelengkan kepalanya tidak percaya. Tidak... Sora tidak mungkin pergi...Tidak.
Reno menjelaskan dimana Sora sekarang. Dan tanpa pikir panjang, Max berlari cepat meninggalkan gereja tempat pernikahannya. Max tidak memperdulikan teriakan dari sang pendeta ataupun Victoria. Yang sekarang ia pikirkan hanya Sora dan Sora. Sora tidak mungkin meninggal. Tidak mungkin. Mereka semua bohong.

Max berlari terburu-buru di lorong rumah sakit dimana Sora menghembuskan napas terakhir. Ia bertanya dengan terburu-buru dan langsung berlari begitu memperoleh informasi.
Langkah Max mulai melambat ketika ia akan mendekati ruang UGD, ruangan yang membuat ia trauma. Lagi-lagi, ruangan ini membawa orang-orang yang ia sayang pergi. Setelah ayahnya, sekarang giliran Sora.
Dengan tangan gemetar Max membuka pintu ruang UGD. Dimana jasad Sora berada. Jasad Sora memang belum dipindahkan ke kamar mayat. Dingin. Itu yang Max rasakan ketika berhasil masuk ke ruang UGD. Seperti hatinya saat ini.
Max menatap kosong kain putih yang menutupi tubuh Sora. Langkahnya terhenti ketika sudah berada di dekat tubuh Sora. Dengan perlahan, Max membuka kain putih itu. Membuat wajah Sora yang pucat pasi tanpa napas terlihat. Hati Max mencelos. Air matanya menetes seketika. Dan Max kemudian memeluk jasad Sora.
“Sora...Sora..bangun Sora...bilang sama aku, kamu cuman bercanda agar pernikahanku batal...bangun Sora...”teriak Max pilu. Max tidak percaya Sora akan meninggalkannya secepat ini. Max belum rela. Ia masih ingin Sora berada di sampingnya.
“Sora..maafin aku.. maafin aku..aku nggak benci sama kamu Sora..sama sekali nggak... aku cuman bingung sama perasaan aku Sora...bangun, aku mohon..”
Air mata Max terus saja mengalir dan mulutnya tak henti-hentinya memanggil nama Sora. Berharap mata Sora akan terbuka dan tersenyum padanya, walau kenyataannya tidak mungkin. Max terus memeluk tubuh Sora yang tak bernyawa.
“Permisi... apa anda yang bernama Max?”tanya seseorang yang membuat Max menoleh sejenak. Max hanya mengangguk. Max tidak berusaha menghapus air matanya saat melihat sorang suster berjalan ke arahnya. Hatinya terlalu sakit menerima semuanya.
“Ini... ada surat untuk anda. Surat ini dari mendiang nona Sora”jelas suster tersebut dan mengulurkan tangannya untuk menyerahkan sebuah surat dari Sora. Max dengan gemetar menerima surat itu. Surat yang sudah sedikit lecek dan terdapat noda darah. Darah Sora.
“Dan, maaf...sebelum nona Sora menghembuskan napas yang terakhir, nona Sora sempat menggumamkan nama anda. Nona Sora juga berkata bahwa ia meminta maaf pada anda dan bilang bahwa nona Sora mencintai anda.”jelas suster itu yang membuat tubuh Max hampir roboh. Bahkan di saat terakhirnya, Sora masih menyebutkan namanya? Sebegitukah dia mencintaiku? pikir Max tak percaya.
“Saya tidak ingin ikut campur sebenarnya. Namun, apapun yang terjadi pada anda dan nona Sora, saya harap anda mau memaafkan nona Sora agar dia bisa tenang di sana. Kalau begitu saya permisi, Tuan”kata suster dan pamit keluar dari ruang UGD. Membiarkan Max kembali sendiri di samping Sora. Matanya menatap kosong surat pemberian suster tadi. Di amplop tersebut terdapat namanya, berarti surat ini benar-benar untuknya.
Dengan perlahan Max menyobek amplopnya. Mengeluarkan kertas yang berada di dalamnya. Max membuka kertas tersebut, kertas yang terdapat darah Sora.

Untuk Max, teman kecilku yang aku cintai...
Hai Max, apa kabarmu dua minggu ini? Aku harap kau baik-baik saja.. Kau pasti sedang sibuk mempersiapkan pernikahanmu dengan Victoria. Kau tahu, aku begitu merindukanmu selama dua minggu ini
Max...
Aku ingin meminta maaf padamu..soal perasaanku padamu. Aku tahu kau pasti membenciku karena perasaanku ini. Aku minta maaf soal itu, tidak seharusnya aku mempunyai perasaan ini bukan?
Namun, bagaimana jika hati ini sudah memilihmu, Max? Haruskah aku membohongi hati kecilku sendiri? Aku mencoba menyangkalnya... namun, tetap saja, aku tak bisa berbohong bahwa aku jatuh cinta padamu...
Kau bertanya padaku, sejak kapan aku mencintaimu
Jujur saja aku tidak tahu, Max. Perasaan ini muncul tiba-tiba tanpa aku tahu kapan itu mulai datang.
Kau bertanya padaku, kenapa aku bisa mencintaimu
Aku juga tidak tahu. Apa setiap jatuh cinta membutuhkan alasan? Bukankah jawaban dari pertanyaan itu adalah cinta juga? Aku tidak mempunyai alasan untuk mencintaimu... alasan itu hanya cinta.
Kau bertanya padaku, kenapa aku menyembunyikannya
Aku sempat ingin mengatakannya padamu, Max. Namun, aku takut. Aku takut merusak pertemanan kita. Aku takut kau akan menjauhiku. Aku takut kau tak lagi di sisiku. Apalagi, saat kau mengatakan bahwa kau telah resmi menjadi kekasih Victoria. Membuatku harus mundur. Aku tidak mungkin merusak kebahagiaan-mu bersama Victoria. Jika begitu, bukankah aku terlalu egois Max? Karena itu... lebih baik aku menyembunyikannya
Kau bertanya padaku, kenapa aku tidak mengatakannya padamu
Apakah semua orang yang jatuh cinta harus mengungkapkan kepada orang yang kita cintai? Tidak bukan? Aku lebih memilih untuk diam. Mencintaimu tanpa perlu kau tahu. Agar aku tetap di sisimu. Menjadi tempat bersandar untukmu. Bukankah itu hal terindah? Walau, aku sakit melihatmu dengan Victoria, namun aku bahagia bahwa kau masih di sisiku, Max. Masih menganggapku sebagai sandaran hidupmu. Sakit? Memang. Namun, akan terasa lebih sakit jika aku tidak didekatmu sebagai tempatmu bersandar.
Aku hanya ingin melihatmu bahagia bersama Victoria. Aku sama sekali tak berniat menghancurkan hubunganmu dengannya. Karena aku tahu, kelak Victoria-lah yang akan menjadi tempatmu bersandar.
Tempatmu meluapkan semuanya. Bukan aku lagi... karena itu aku harus belajar merelakan. Mungkin, dengan kepergian-ku ke Jepang.
Aku tahu ini akhirnya. Aku harus menyerahkan posisiku kepada Victoria.
Meski hati ini sakit, namun setidaknya posisiku terganti oleh orang yang tepat.
Maaf, jika perasaanku membuatmu begitu membenciku.
Maaf, jika aku pernah mengatakan bahwa kau begitu egois.
Maaf, jika perasaanku begitu menjadi beban untukmu.
Maaf, jika aku selalu menyembunyikannya darimu
Maaf, jika aku tak pernah mengungkapkannya padamu..
Maafkan aku, Max
Aku tak pernah membenci semua kata-katamu kemarin, Max. Aku juga tak menyesal menjadi sandaran hidupmu. Teruslah tersenyum. Semoga kau bahagia dengan Victoria, sampai maut memisahkan kalian. Amiin... Jaga Victoria baik-baik, dia wanita yang tepat untukmu.
Apakah sekarang kau mulai melihatku? Melihatku sebagai tempatmu bersandar. Aku mencintaimu selalu dan selalu....

Dari orang yang selalu merindukan sosokmu
-         Sora –


Max terhuyung setelah selesai membaca surat dari Sora. Max memeluk tubuh jasad Sora untu kedua kalianya. Max menangis sekali lagi. Membiarkan, air matanya membasahi wajah pucat Sora.
“Maafkan aku, Sora.. Maafkan aku... aku..aku beruntung memiliki dirimu.. maafkan aku..”ucap Max terbata-bata.
Max tahu ia begitu kehilangan Sora. Dan bodohnya, ia baru mengetahui perasaannya yang sesungguhnya kepada Sora. Max mendekatkan wajahnya ke telinga Sora.
“Aku tahu, ini sangat terlambat... tapi, aku juga mencintaimu, Sora...sangat mencintaimu...”bisik Max lirih di telinga Sora. Berharap Sora mampu mendengarnya. Dengan air mata yang masih menetes, Max mencium kening Sora. Tidak lama kemudian, Max kembali menangis dan memeluk erat tubuh Sora.
Tanpa disadari Max, Victoria sudah berdiri di ambang pintu ruang UGD. Menutup mulutnya, agar isakannya tidak terdengar oleh Max. Victoria tidak pernah melihat Max menangis seperti itu. Hanya di depan Sora, Max mampu menangis seperti itu. Victoria tentu mendengar ucapan cinta Max, namun ia tidak marah. Ia tidak berhak marah, meski Max sudah menjadi suaminya. Karena sejak awal ia tahu, ia hanya penghalang bagi hubungan Max dan Sora.
Dengan langkah perlahan, Victoria menghampiri Max yang sedang memeluk tubuh Sora. Kedua tangannya merengkuh tubuh Max dan mengusap bahu Max lembut. Berusaha memberikan energy untuk Max.
Max terkejut dan langsung menolehkan kepalanya. Tatapannya sulit diartikan ketika ia tahu bahwa Victoria sudah berada di sampingnya. Memeluknya. Memberikan kekuatan untuknya. Melihat itu, Victoria hanya tersenyum dan mengangguk. Max langsung memeluk istrinya itu. Menangis pilu di bahu Victoria. Victoria menepuk-nepuk punggung Max. Victoria ikut menangis pilu seiring dengan suara tangisan Max yang semakin keras dan terus memanggil nama Sora.
“Aku tak akan menyia-nyiakan pengorbananmu, Sora. Aku akan terus membuatnya tersenyum. Aku tak akan membiarkan Max menangis lagi. Aku janji ini yang terakhir kau melihatnya menangis. Selamat jalan, Sora. Terima kasih atas semuanya..”batin Victoria sambil menatap wajah Sora yang pucat pasi.

Max’s Side
Aku sama sekali tidak membencinya. Sekalipun aku bisa. Dia, Sora, sangat berarti bagiku. Dia yang membuatku bangkit. Membuatku tertawa kembali. Membuatku lebih menghargai hidup. Sora adalah segalanya bagiku...
Aku hanya marah padanya. Aku marah karena dia menyembunyikan semua ini dariku. Menutupi semua dengan tatapan dan senyumnya.  Tanpa celah, dia berhasil membuatku tidak mengetahui isi hatinya meski aku sudah berteman lama dengannya.
Aku marah pada diriku sendiri. Yang selalu berbohong tentang perasaanku yang sebenarnya kepada Sora. Tanpa dia tahu, aku juga menyembunyikan perasaanku padanya. Aku juga mencintainya... lebih dari diriku sendiri.
Aku juga sudah berusaha mengungkapkan semuanya padamu, Sora. Namun, sama sepertimu, aku terlalu takut. Aku takut kau akan pergi dariku. Dan aku tak bisa lagi bersandar padamu.
Aku menelan semua perasaanku padamu. Walau terasa sulit. Sulit ketika melihat laki-laki lain selain aku yang berusaha mendekatimu. Berusaha bersandar padamu. Aku tidak rela. Aku egois, memang. Tetapi, aku hanya ingin, aku-lah satu-satunya laki-laki yang bersandar padamu. Bukan yang lain.
Aku mulai berusaha menghapus perasaanku. Dengan kehadiran Victoria, aku mulai bangkit dan menghapus semuanya. Victoria mirip sekali sepertimu, namun Victoria lebih feminim. Aku menemukan bayanganmu dalam diri Victoria. Membuatku tak bisa menolaknya. Dan.. aku menjadikannya kekasihku lalu melamarnya. Aku kira ini jalanku. Takdirku. Namun, ternyata aku salah. Salah satu celah kecil di hatiku masih menyimpan namamu. Celah kecil yang berdampak besar.
Aku baru menyadari, bahwa...perasaan ini masih ada untukmu. Meski sudah ada nama Victoria di sana. Setelah mengetahui fakta kau juga mencintaiku, aku bimbang. Haruskah aku mengatakan sejujurnya dan membatalkan pernikahanku dengan Victoria? Ataukah aku harus kembali melupakan semua dan menganggap semua ini tidak pernah terjadi? Saat itulah, aku membuat keputusan. Aku tetap menikahi Victoria, memenuhi janji dan tanggung jawabku setelah memintanya menjadi istri sekaligus ibu dari ana-anakku. Tetapi... aku juga tetap ingin kau menjadi sandaran hidupku, meski kita tak bisa saling memiliki dan saling mengungkapkan.
Aku tahu, ini tak adil bagimu. Lagi-lagi, kau yang harus tersakiti. Menjadi korban karena keegoisanku. Seharusnya, saat itu..kau menamparku atau bahkan membunuhku, Sora. Aku tak pantas kau cintai sampai detik terakhir... aku seperti pecundang yang selalu mempermainkan perasaanmu. Maafkan aku, Sora.
Aku bahagia Tuhan mempertemukan aku denganmu. Aku tak akan pernah menyesal. Mengenal dan menjadikanmu sebagai sandaran hidupku. Tak ada yang bisa menggantikan posisimu, Sora. Karena, kau menempati ruang khusus di hati dan kehidupanku. Tidak akan yang bisa merubahnya. Aku mencintaimu Sora..sangat mencintaimu... Maafkan atas keegoisanku selama ini. Maafkan aku karena membuatmu merasa tersiksa. Membuatmu tak bisa merasakan indahnya mempunyai pasangan. Maafkan aku, Sora.
Aku berjanji akan menjaga Victoria. Mencintainya dengan cara yang berbeda, karena kau dan Victoria juga berbeda. Aku akan berusaha menyempurnakan kisah cintaku bersama Victoria. Agar kisah kita yang tak pernah menyampaikan perasaan masing-masing juga ikut sempurna. Aku akan membahagiakannya. Terima kasih atas semua yang kau korbankan untukku. Terima kasih, karena sampai detik terakhir, hanya ada namaku yang ada di hatimu. Terima kasih telah menjaga namaku di hatimu sampai napasmu berhenti. Terima kasih karena telah mencintai pecundang sepertiku. Terima kasih atas semuanya, Sora...

Selamat jalan... semoga kau tenang di sana. Aku mencintaimu.. selalu dan selalu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar