Sandaran
Terindah
By
lotusathene
Saat kau jatuh cinta dan
berusaha untuk mengungkapkannya, harapan pertama yang kau panjatkan bukan agar
dia yang kau cintai membalas perasaanmu dan kau bisa menjadi kekasihnya. Namun,
berharaplah bahwa dia akan terus berada di sisimu. Bisa melihatnya. Dan bisa
menjadi tempat dia yang kau cintai untuk bersandar. Sakit, tentu saja. Namun,
akan lebih sakit jika dia menjauh darimu dan kau tak akan pernah melihatnya.
Menjadi, tempat bersandarnya adalah takdir terindahku - Sora
Sora memandang pemandangan kota Malang di balik
jendela apartemennya. Pemandangan langit sore yang indah dan juga pemandangan
tenggelamnya matahari. Ya, Sora begitu menyukai saat matahari mulai tenggelam.
Seolah-olah ia ikut tenggelam di dalamnya.
“Soraaaaa”teriak seorang laki-laki yang membuat
Sora hampir terkena serangan jantung. Sora berbalik dan menatap malas laki-laki
yang berada di hadapannya sekarang. Laki-laki itu adalah Max. Siapa lagi, Sora
sudah hapal dengan suara bass dan menggelegar milik laki-laki itu.
Melihat ekspresi Sora, Max hanya mengeluarkan
cengiran khas miliknya. Membuat Sora yang melihatnya hanya menghembuskan napas
pelan. Sora berjalan menuju ruang tamu apartemennya kemudian duduk.
“Ada apa?”tanya Sora tanpa mempersilahkan Max
duduk. Melihat itu, Max jadi salah tingkah sendiri. Ia merasa tidak enak karena
menganggu kegiatan ‘melamun’ Sora.
“Ehm, begini... aku sudah selesai menyebarkan
undangan pernikahan..”jawab Max sambil duduk di sebelah Sora. Sora menoleh ke
arah Max. Menatap laki-laki itu dalam. Dan penuh arti.
“Kau pasti kelelahan, kan?”tanya Sora yang masih
memandangi Max. Max menoleh menatap Sora, lalu tersenyum. Max tahu hanya Sora
yang mampu memahami dirinya. Ia senang Sora masuk ke dalam kehidupannya.
Mengisi hari-harinya. Mewarnai hari-harinya yang dulu kelabu. Sora seperti
seorang malaikat baginya.
Melihat senyum itu. Hati Sora bergetar. Entah
kenapa ada aliran listrik yang mengalir ke tubuhnya melihat Max tersenyum. Ia
sangat menyukai saat Max tersenyum. Ia tidak ingin Max dingin dan murung
seperti dulu. Ia berharap dalam hati bisa terus melihat Max tersenyum.
Selamanya...
“Biar aku ambilkan minum”jawab Sora sambil
tersenyum dan mulai beranjak dari sofa.
Max melihat jam tangannya, matanya membulat.
“Tidak. Maksudku tidak usah. Kita tidak ada waktu.”teriak Max dan langsung
menarik pergelangan tangan Sora. Membuat Sora berteriak sekaligus terkejut.
“Ya! Kau akan membawaku kemana?”teriak Sora yang
terus berusaha melepaskan pergelangan tangannya dari genggaman Max. Namun,
hasilnya nihil. Genggaman tangan Max terlalu kuat.
“Akan kuceritakan di jalan”jawab Max
tergesa-gesa seraya menutup pintu apartemen Sora. Dengan cepat, Max menarik
Sora ke arah lift dan langsung memencet tombol lift menuju lantai paling bawah.
Menuju basement apartemen tersebut. Tempat mobil Max terparkir.
Di
sebuah butik ternama di Malang...
Sora mendengus sebal ketika mengetahui kemana
Max membawanya pergi. Ke sebuah butik. Bukannya Sora tidak suka, tetapi Max
membawanya ke sini bukan untuk berbelanja melainkan untuk mencoba baju
pengantin. Sora duduk dengan asal di sebuah sofa yang disediakan di butik
tersebut. Menunggu Max yang sedang mencoba sebuah setelan tuxedo.
Tirai terbuka, memperlihatkan Max yang tampak
gagah dengan tuxedo hitam yang ia kenakan. Sora memandang dengan tatapan sulit
diartikan. Max sangat tampan, begitulah yang ada di pikiran Sora. Hanya memakai
kaos dan celana jeans saja Max sudah tampan, apalagi memakai tuxedo.
Para pelanggan yang di dominasi oleh kaum hawa
ikut memandang Max dengan tatapan memuja. Wanita mana yang tidak suka melihat
laki-laki seperti Max. Max bak model dengan tingginya yang mencapai 183 cm.
Wajahnya memang tergolong seperti orang China, tetapi masih terdapat unsur
Indonesia di dalamnya. Kulitnya putih namun tidak terlalu pucat. Alisnya tebal
dipadu dengan mata sipit yang akan membentuk bulan sabit ketika ia tersenyum
dan sangat tajam ketika melihat sesuatu. Rahangnya begitu tegas menambah kesan
manly. Ditambah dengan rambut hitam-kecoklatan dengan potongan acak-acakan rapi
yang semakin membuat kaum hawa yang melihatnya leleh. Tidak terkecuali Sora.
Max turun dan berjalan pelan menuju ke hadapan
Sora. Membuat jantung Sora berdetak tak karuan. Sora benar-benar akan mengutuk
Max karena berani membuat jantungnya tak bisa dikontrol seperti sekarang.
“Aku tahu aku tampan, jangan memandangku dengan
tatapan memuja seperti itu”goda Max yang sukses membuat pipi Sora merah merona.
Demi menutupi kegugupannya, Sora meninju pelan perut Max. Membuat Max terkekeh
geli dan mengacak-acak rambut Sora. Membuat Sora semakin salah tingkah. Dan
tentu saja membuat pengunjung wanita iri bukan main terhadap Sora.
“Sekarang giliranmu”ucap Max sambil mengeluarkan
smirk khasnya.
“Apa?”tanya Sora tak mengerti seraya mengangkat
sebelah alisnya. Max segera menarik Sora ke arah kamar ganti. Membuat Sora
bingung bukan main. Apa yang dipikirkan lelaki ini, batinnya.
“Mbak, tolong pakaikan nona ini dengan baju
pengantin yang saya tunjukan tadi ya”ucap Max kepada sang petugas butik. Sang
petugas butik itu hanya tersenyum dan menangguk. Kemudian petugas wanita itu
menyeret Sora yang sudah membulatkan matanya lebar-lebar dan menatap Max dengan
tatapan ‘kau ingin mati’. Max hanya bersiul-siul tanpa dosa.
5 menit...
10 menit...
15 menit...
20 menit...
Max sudah menguap kesekian kalinya, melihat
tirai di depannya masih tertutup. Yang bertanda Sora belum juga selesai mencoba
gaun pengantin yang Max pilihkan. Max berdiri untuk menghilangkan bosan.
Berjalan mondar-mandir seperti orang yang sedang mencari ide. Tepat pada saat
Max sudah mondar-mandir untuk yang kelima kalinya, tirai terbuka. Max menoleh.
Matanya membulat tak percaya.
Sora terlihat anggun dan cantik memakai gaun pengantin.
Max tak percaya bahwa Sora bisa terlihat semenawan itu terlepas dari pakaian
Sora yang selalu mengenakan celana jeans, yang Sora katakan itu image sebagai
seorang penulis.
Sora menunduk malu. Ini pertama kalinya ia
mengenakan gaun. Dan gaun pengantin pula. Gaun itu memperlihatkan bahu dan kaki
jenjangnya. Bagian depan gaun itu memang sengaja dibuat pendek dan panjang pada
bagian belakangnya, seperti dibuat untuk ekor gaun tersebut. Rambut Sora ditata
rapi dengan mahkota yang membingkai rambutnya. Serta sebuah tiara yang memang
sengaja tidak diletakkan di depan untuk menutupi wajah Sora.
Max melihat Sora dari bawah sampai ke atas. Max
juga baru pertama kali melihat Sora memakai gaun. Max tidak menyangka bahwa
Sora begitu cantik dan.. begitu menggoda. Max menggelengkan-gelengkan kepala
untuk menghilangkan pikiran kotornya.
Max berdeham lalu berjalan mendekati Sora.
Membuat Sora makin salah tingkah dan malu bukan main. Dengan cepat Sora
membalikkan badannya menghadap cermin. Ia tidak ingin Max melihat wajahnya yang
sudah seperti kepiting rebus.
“Ternyata kau cantik juga jika memakai gaun”ucap
Max dengan kekehan kecil. Sora terperanjat mengetahui fakta Max sudah berada di
belakangnya bahkan sangat dekat dengannya. Bahkan saat Max berbicara tadi, Sora
bisa merasakan hembusan nafas Max. Membuat Sora merinding sendiri. Tanpa Sora
sadari, Max terus saja memandang wajah Sora lewat cermin di depan mereka.
Sora menetralkan detak serta napasnya. Dan
menyikut perut Max pelan, cara yang ia biasa lakukan untuk menutupi
kegugupannya jika berada di dekat Max.
“Kau ingin mengejekku?”tanya Sora dengan mimik
wajah yang pura-pura kesal. Membuat Max tersenyum kecil melihatnya. Max terdiam
sebentar, andai Sora tahu bahwa Max begitu jujur mengatakannya. Max juga merasa
aneh. Kenapa jantungnya tiba-tiba tidak bisa terkontrol begini. Max lagi-lagi
menggeleng-gelengkan kepalanya. Membuang pikiran aneh yang tiba-tiba memenuhi
otaknya.
“Wah, kalian berdua terlihat serasi”ucap salah
satu petugas yang membuat Sora dan Max saling berpandangan lewat cermin.
“Bolehkah kami mengambil gambar kalian untuk
kenang-kenangan?”tanya petugas wanita tadi. Max dan Sora membalikkan badan
mereka dan saling pandang. Dan saling meminta jawaban.
Max menatap petugas wanita itu dan mengangguk,
membuat Sora membelalakkan matanya. Petugas wanita itu tersenyum puas lalu
segera mengambil ponsel yang berada di dalam saku roknya.
“Saya ingin kalian terlihat mesra, boleh?”tanya
petugas wanita itu lagi. Membuat Sora ingin sekali mencakar wajah petugas
wanita yang menurutnya terlalu banyak menuntut itu.
Mendengar itu, Max tersenyum dan langsung
memeluk pinggang Sarah mesra. Max sendiri tidak tahu kenapa ia melakukannya, ia
hanya reflek. Merasakan tangan Max di pinggangnya, Sora menatap Max. Membuat
Max juga menatap Sora. Max hanya tersenyum. Senyum yang menurut Sora berbeda
dari biasanya.
Klik
“Wah, benar-benar romantis”kata petugas itu
girang setelah selesai memotret Max dan Sora. “Lihatlah, kalian begitu tampak
romantis ketika berpandangan seperti tadi. Seolah-olah kalian berbicara lewat
isyarat mata”ujarnya lagi.
Max dan Sora hanya tersenyum kecil. Sora
kemudian menatap Max dengan tatapan sebal.
“Kenapa kau lakukan ini?”protes Sora. Dengan
refleks, Max semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Sora.
“Bukankah kita akan menjalani kehidupan yang
baru bersama-sama?”tanya Max polos. Sora terdiam sejenak mendengar itu. Ia
mengigit bibir bawahnya. Ya, ia harus kembali ke sebuah kenyataan. Dadanya
tiba-tiba merasa sesak. Dengan gerakan pelan, ia melepaskan tangan Max yang
berada di pinggangnya. Membuat Max mengangkat sebelah alisnya.
“A-aku harus segera kembali... naskah novelku
harus segera kuselesaikan sebelum deadline tiga hari lagi. Maaf.”Sora langsung
berlari mengambil pakaiannya dan menuju ruang ganti lain. Setelah selesai, Sora
segera berlari cepat menuju pintu keluar tanpa menghiraukan teriakan Max dari
dalam butik.
Sora menangis keras di dalam kamarnya. Mematikan
semua lampu apartemennya. Agar ia tertelan di dalam kegelapan. Tertelan dalam
sakit hatinya. Ia tahu, tidak seharusnya ia merasakan perasaan ini. Tidak
seharusnya ia memendam perasaan ini. Ia harus menerima kenyataan. Dan melupakan
semuanya.
Sora terlihat rapuh dan terduduk di lantai
kamarnya. Menekuk lututnya dan menenggelamkan wajahnya yang basah karena air
mata. Apakah sesakit ini memendam perasaan kepada teman sendiri? pikir Sora.
Sora seharusnya menuruti perkataan Nia, sahabatnya. Jika kau menyukai
seseorang, cobalah untuk mengungkapkannya, jangan hanya dipendam. Jika tidak,
kau harus siap ia menjadi milik orang lain. Kata-kata Nia tiga tahun silam
kembali memenuhi otaknya. Membuat hatinya yang hancur semakin hancur. Tak
bersisa. Tangisannya begitu menyayat di bawah sinar bulan yang terlihat dari
balik jendela kamarnya.
Sora mencintai Max. Itu sudah jelas dan sudah
terlihat. Dari cara Sora menatapnya, yang selalu berusaha di samping Max jika
laki-laki itu membutuhkannya. Tapi... Sora terlambat. Sangat terlambat. Dan
Sora menyesali kebodohannya. Seharusnya ia menuruti saran Nia. Bukan malah
memendamnya sampai seperti ini. Ia tahu Max tak akan pernah menjadi miliknya.
Mereka tak akan pernah bersama. Mereka ditakdirkan untuk berteman.
Di depan Sora, terdapat sebuah undangan berwarna
pink yang terbuka. Memperlihatkan foto sebuah pasangan yang begitu serasi dan
mesra. Di bawah foto tersebut tercetak sebuah nama kedua mempelai. Max Dirgantara dan Victoria Rumi.
Max berdiri di balkon apartemennya menatap
kosong pemandangan di hadapannya. Semenjak kejadian beberapa hari lalu di
butik, Sora seperti menghindar darinya. Sora tidak pernah membalas pesan yang
Max kirimkan untuknya. Setiap kali di telepon, Sora selalu beralasan ia sedang
sibuk. Hal itu membuat Max frustasi. Entah, Max sendiri merasa bingung kenapa
ia bisa merasa frustasi ketika Sora menghindarinya. Mungkin, Max sudah terbiasa
dengan kehadiran Sora di sampingnya. Mungkin...
Max tersentak ketika ada sepasang tangan yang
memeluk pinggangnya. Max juga merasakan ada kepala yang menempel di
punggungnya. Tanpa Max berbalik pun, ia tahu siapa yang memeluknya. Victoria,
kekasihnya yang akan segera menjadi istrinya.
“Kau memikirkan apa? Sampai-sampai kedatanganku
tak kau gubris.”ucap Victoria dengan nada kesal.
Max hanya tersenyum kecil dan segera melepas
tangan Victoria, lalu berbalik untuk menatap kekasihnya itu. Tangan Max
langsung terulur untuk mengelus pipi Victoria dan langsung menarik kekasihnya
itu ke dalam pelukannya.
“Maafkan aku ya”ucap Max dengan nada lembut.
Membuat Victoria mengangguk dan tersenyum di dalam pelukan Max.
“Kau tidak boleh terlalu banyak pikiran, dua
minggu lagi kita akan menikah”balas Victoria dengan nada lembut dan
menenangkan. Namun, kenapa kata-kata Victoria yang barusan, tidak membuat Max
merasa tenang seperti biasanya.
Ada perasaan aneh menulusup pada hatinya. Dan
entah kenapa bayangan Sora melintas di dalam otaknya. Bayangan tatapan mata
Sora beberapa hari lalu. Yang terlihat terluka. Tetapi, kenapa Sora terluka?
Apa karena keberangkatannya ke Jepang setelah Sora menghadiri pernikahannya
nanti? Namun,tidak mungkin. Bukankah itu impian Sora bisa pergi dan bekerja di
Jepang? Bukankah Sora bahagia karena mereka akan mencapai kehidupan yang baru
bersama-sama? Lalu, kenapa? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala
Max.
Tanpa Victoria sadari, dada Max merasa sesak.
Sesak yang tidak tahu apa alasannya. Yang jelas, berhubungan dengan Sora.
Max sampai di depan apartemen Sora. Max tidak
mau frustasi terus menerus. Ia ingin melihat Sora. Ia ingin menuruti kata
hatinya, untuk berada di samping Sora. Jujur saja, Max begitu merindukan
temannya itu. Teman yang selalu ada ketika ia membutuhkan bahu untuk bersandar.
Max memencet bel berkali-kali, namun Sora tak
kunjung keluar dari apartemennya. Max berpikir keras dan mencoba menekan tombol
kode pintu apartemen Sora. Max tahu karena ia sering bermain ke apartemen Sora.
Semoga ia tak mengganti passwordnya, batin Max penuh harap. Dengan tangan
gemetar, Max menekan digit-digit angka yang sudah ia hapal. Sekitar semenit
menunggu, tombol berubah berwarna hijau. Tanda, bahwa Max benar memasukkan
passwordnya. Max menghembuskan nafas lega dan segera membuka pintu apartemen
Sora.
“Sora..”panggil Max. Namun, tak ada jawaban.
Mungkin Sora sedang keluar, pikirnya. Max berjalan ke arah ruang tamu. Namun,
saat ingin duduk, Max melihat pintu kamar Sora yang terbuka sedikit. Max
mengernyitkan dahi, tak biasanya Sora membuka pintu kamarnya saat pergi.
Max berjalan perlahan mendekati kamar Sora.
Membuka pintunya ketika ia sudah sampai di hadapan pintu kamar Sora. Max gugup.
Tentu saja, ini pertama kalinya ia masuk ke kamar Sora. Sora tak pernah
mengijinkannya masuk ke kamar.
Kamar Sora begitu berantakan, pikir Max. Max
melihat sekeliling kamar Sora. Terlihat simpel, persis seperti Sora. Max mulai
masuk. Ia menggelengkan kepala ketika tahu Sora lupa mematikan laptop miliknya.
Max berjalan ke arah tempat tidur, dan duduk di tepiannya. Max ingin merasakan
aura Sora ditempat tidur ini.
Max menoleh ke arah meja nakas, tersenyum
melihat sebuah bingkai foto yang memperlihatkan senyum konyol dia dan Sora. Max
ingat foto itu. Foto itu di ambil sekitar setahun yang lalu, ketika ia dan Sora
mengunjungi Secret Zoo. Max tersenyum dan berusaha mengambil foto itu. Namun,
tanpa sengaja, Max menyenggol sebuah buku kecil mirip diary yang letaknya di
belakang foto itu.
Max segera meletakkan foto itu kembali dan
mengambil diary itu. Max tahu, ini pasti diary milik Sora. Sora memang suka
sekali menulis diary. Max bimbang ingin membukanya atau tidak. Namun, dia
penasaran apakah Sora pernah menulis tentangnya atau tidak dalam diary itu.
Dengan ragu-ragu Max membuka halaman pertama diary milik Sora.
4 Februari 2005..
Ya Tuhan, dia menangis.
Sungguh, aku tak tega melihatnya. Ya Tuhan, jangan buat dia menangis seperti
ini. Ingin sekali aku memeluknya dan mengatakan semua baik-baik saja. Ayahnya
pasti akan sedih melihatnya seperti ini. Jangan menangis.. aku mohon.
Max tertegun sebentar dengan halaman pertama
diary tersebut. Tanggal itu... adalah tanggal dimana Max kehilangan ayahnya
untuk selama-lamanya. Kehilangan sosok yang selalu menjadi idola Max. Sosok
yang Max banggakan. Sora terlihat ikut bersedih karena kertas itu – walau sudah
lama – tetap memperlihatkan bekas air mata. Dengan tangan bergetar, Max membuka
halaman selanjutnya.
23 Maret 2005...
Dia berubah murung setelah
kejadian itu. Aku tak sanggup melihatnya. Ya Tuhan.. kembalikan keceriannya
seperti dulu. Aku rindu ketika dia tersnyum...
Max membalikkan halaman diary milik Sora. Dengan
perasaan yang... tidak menentu. Melewati beberapa halaman yang menurutnya tidak
terlalu penting. Karena Max tahu, yang Sora tuliskan selalu Sora ceritakan
terlebih dahulu padanya. Max hanya ingin tahu, bagaimana Sora menggambarkan
dirinya. Max ingin tahu rahasia Sora dibalik senyum dan matanya. Max ingin tahu
lebih dalam tentang Sora, teman kecilnya...
22 Januari 2006
Akhirnya dia kembali tertawa...
Aku sangat bahagia melihatnya. Sudah lama aku merindukan tawa khas miliknya.
Max yang dulu telah kembali...
2 Juni 2006...
Senang rasanya bisa lulus
dengan nilai terbaik. Ah~ bahkan Max bukannya malah memberi selamat malah
membullyku. Astaga... Namun, tidak apa. Selama ia tersenyum aku rela menjadi
bahan bully-annya haha..
10 Juli 2006
Yeayy, kami diterima di
Universitas yang sama. Walau berbeda jurusan, tak apa yang penting masih satu
fakultas. Ah senangnya, bisa melihat dia setiap hari hehe
2 Februari 2007...
Dia mengikuti perlombaan futsal
hari ini. Aku rela membolos kuliah demi mendukungnya. Kedatanganku tak sia-sia,
karena Max bersama timnya menjadi juara satu. Dan... Max untuk pertama kalinya
memelukku dengan bahagia... Astaga, jantungku....
7 Februari 2007
Setelah kejadian itu, aku
selalu gelisah. Sebenarnya, hal ini sudah lama terjadi. Aku selalu merasa
jantungku tak terkontrol ketika berada di dekatnya. Apa aku.... mulai jatuh
cinta padanya?
14 Maret 2007
Aku berusaha mencari tahu
tentang perasaanku sebulan belakangan ini. Dan, ternyata benar.. aku mencintai
Max, teman kecilku sendiri. Apa ini sebuah kesalahan?
16 Maret 2008
Sudah setahun lebih aku
memendam perasaanku padanya. Aku sungguh takut untuk mengungkapkannya. Ya
Tuhan, aku harus bagaimana?
6 November 2008
Happy birthday Max :D Semoga
kau selalu sehat, panjang umur, dan sukses selalu. Aku mencintaimu, sungguh.
Meski kau tak tahu... Aku akan berusaha selalu ada di sampingmu. Menjadi
tempatmu bersandar.
3 Januari 2009
Banyak sekali yang menyukai
Max. Entahlah, aku mungkin mulai cemburu. Yang membuatku sebal adalah Max akan
mulai melupakanku ketika dia sedang dikerubuti oleh cewek-cewek itu. Max,
bisakah kau melihatku?
31 Desember 2009
Max mengajakku ke sebuah tempat
yang disebut orang-orang sebagai bukit bintang. Katanya, akan jauh lebih indah
jika melewatkan tahun baru di sini. Sungguh, indah sekali pemandangannya. Max
merangkul pundakku, membuatku mati rasa. Astaga Max, bisakah kau berhenti
membuatku jadi salah tingkah? Thanks udah bawa aku ke bukit indah itu, aku tak
akan melupakannya. Aku mencintaimu.. selalu
22 Februari 2010
Hari ini Max marah padaku
karena aku lebih memilih pergi bersama Nico, teman sekelasku, daripada pergi
bersamanya. Bahkan, dia sampai memaksa dan menyeretku menjauhi Nico. Sempat
terjadi adu mulut antara Max dan Nico. Namun, Max langsung membawaku masuk ke
dalam mobilnya. Max terlihat kesal. Apa dia cemburu? Max.. apa kau cemburu pada
Nico?
5 Juli 2010
Lagi-lagi Max marah padaku.
Sama seperti waktu itu. Dia bahkan sempat melontarkan kata-kata kasar kepadaku.
Membuatku takut dan menangis. Dia sepertinya merasa bersalah, dan langsung
memelukku erat. Dia berkata, jika ia tak suka aku dekat dengan laki-laki lain.
Max ingin aku tetap di sampingnya. Max, apa kau tahu kata-katamu membuatku
berharap besar padamu?
5 Mei 2011
Sudah berapa tahun aku
mencintai Max tanpa berbuat apapun. Aku pun menceritakan semua pada Nia,
sahabatku. Nia bilang bahwa lebih baik aku mengungkapkannya sebelum Max menjadi
milik orang lain. Haruskah?
23 Agustus 2011
Aku selalu memikirkan kata-kata
Nia. Haruskah aku mengungkapkannya? Namun, jika tidak, apa aku rela melihat Max
bersama orang lain? Tidak hanya kau, Max. Aku juga ingin kau selalu berada di
sampingmu, aku tidak ingin hanya sekedar sebagai temanmu. Bolehkah aku berharap
seperti itu?
23 April 2012
Max lagi-lagi marah kepadaku
karena hal serupa. Beruntungnya, ia tak melontarkan kata-kata kasar seperti
waktu itu. Namun, dengan seenaknya yang entah aku bingung harus marah ataupun
senang, dia mengklaimku sebagai miliknya di hadapan Fano, orang yang (gosipnya)
menyukaiku. Max, apakah kamu benar-benar menyukaiku?
13 Juli 2012
Aku seperti tertimpa tangga
saat mendengar pernyataan Max bahwa dia sedang menyukai seseorang dari fakultas
lain. Dia mengatakannya begitu ceria, haruskah aku menangis di depan dia saat
dia seceria ini? Ya Tuhan.. lalu, apa arti kata-katanya waktu itu?
17 September 2012
Apa yang aku takutkan terjadi..
Max sudah berpacaran dengan Victoria, gadis yang ia sukai. Rasanya, aku ingin
bumi menelanku. Aku tak sanggup. Max, kenapa harus begini? Kenapa kau memberi
harapan kepadaku dan langsung menjatuhkanku begitu saja?
31 Januari 2013
Aku berusaha mulai membiasakan
diri..sekeras mungkin. Sekeras mungkin aku tersenyum saat dia menceritakan
tentang hubungannya dengan Victoria. Sekeras mungkin menahan air mataku saat
mereka bersama.. Sekeras mungkin menghilangkan perasaanku padanya.
14 Mei 2013
Aku tak sanggup lagi. Aku sudah
berusaha untuk menutup mata dan telingaku. Menutup hatiku rapat-rapat. Mencoba
ingat pada kenyataan yang ada. Bahwa Max sudah memiliki orang lain. Lalu,
bagaimana denganku? Kenapa kau begitu egois Max? Kau bebas dengan siapa saja,
tetapi aku? Kau tak pernah rela aku dekat dengan orang lain, kau mengikatku Max
10 Agustus 2013
Max bilang dia sudah melamar
Victoria dan akan segera menikahinya... benarkah aku sudah terlambat? Max
memelukku erat, aku tersenyum di dalam pelukannya. Walau dalam hati, aku
menjerit keras. Penantianku tak ada artinya sudah... aku berusaha ikhlas
melepas Max, walaupun sulit. Aku hanya mampu berdoa untuk kebahagiaan keduanya.
Max mengatupkan rahangnya. Ia masih tak percaya
bahwa, Sora.. mencintainya. Dari dulu hingga kini. Jadi, inikah arti tatapan
mata Sora? Inikah yang selalu Sora sembunyikan darinya. Max memegang buku diary
Sora erat.
“Max, sedang apa kau di sini?”tanya sebuah suara
mengagetkan Max.
Sora memergoki Max berada di kamarnya. Max
sempat terkejut namun langsung menatap matanya tajam. Firasat Sora tiba-tiba
tidak enak. Sora terkejut melihat tangan Max yang memegang buku diary-nya.
Tidak... jangan... jangan sampai Max membacanya.
Max dengan langkah pelan berjalan mendekati Sora
yang berdiri di ambang pintu. Matanya terus menatap tajam mata Sora, membuat
Sora bergidik. Sora tahu, Max sudah membaca semua isi diarynya. Ini bahaya,
batin Sora.
Max sampai di hadapan Sora membuat Sora menelan
ludah dengan susah payah. Mata Max terfokus tajam pada mata Sora. Seolah-olah
Max tak akan pernah melepaskan Sora dan siap menghakiminya.
“Apa maksud isi diarymu ini?”tanya Max dingin.
Tangannya terus mencengkeram buku diary Sora.
Sora hanya diam tak mampu menjawab. Tidak, Sora
tidak ingin menjawab. Percuma jika ia menjawab, sama sekali tak akan merubah
keadaan.
“Apa kau benar-benar mencintaiku? Sejak
kapan?”tanya Max lagi. Nadanya masih tetap saja dingin. Sora hanya mampu
menundukkan kepalanya, ia tak ingin Max melihat ia yang sedang berusaha keras
menahan air matanya.
“JAWAB AKU SORA!”bentak Max yang langsung
membuat Sora meneteskan air matanya. Max membuang buku diary Sora kasar. Kedua
tangannya mencengkeram bahu Sora erat.
“JAWAB AKU! SEJAK KAPAN KAU MENCINTAIKU? KENAPA
KAU MENYEMBUNYIKANNYA DARIKU?”teriak Max frustasi. Tangannya
menggoyang-goyangkan bahu Sora keras. Sora terus saja diam, namun air matanya
terus mengalir. Sora tak siap menerima situasi seperti ini.
“Aku menganggapmu sebagai sebuah sandaran
bagiku. Tapi..kenapa kau malah mencintaiku Sora? Kenapa kau egois? Apa kau
ingin menghancurkan hubunganku dengan Victoria?”tanya Max pelan seraya
tangannya terus mencengkeram kuat bahu Sora.
Sora tertohok mendengar jawaban Max. Air matanya
mengalir deras. Hatinya mencelos. Kenapa Max harus berpikiran sempit seperti
itu. Bukankah dia yang egois? Sora terus saja diam. Tanpa melakukan perlawanan
walau mendengar Max memojokkannya seperti itu. Mulutnya terlalu sulit untuk
bersuara. Hanya air mata yang berbicara.
Dengan kasar Max menghempaskan Sora, membuat
Sora terjatuh dan bahunya menatap pintu kamar. Max memandang Sora datar, bahkan
ia tidak menolong Sora yang sedang meringis kesakitan.
Max berjalan menuju pintu utama apartemen Sora.
Namun, saat diambang pintu, Max berhenti. Membuat Sora menatapnya kosong.
“Aku membencimu, Sora”kata Max dingin dan
langsung membanting keras pintu apartemen Sora. Saat itulah, pertahanan Sora
runtuh sudah. Ia menangis sekeras-kerasnya. Menekuk lututnya dan menenggelamkan
kepalanya. Sora terus saja berteriak, berharap luka di hatinya segera sembuh,
walau sedikit. Tangisannya begitu menyayat. Sora begitu terluka. Kata-kata Max
tadi bagai membuatnya diseret ke lubang hitam tanpa dasar. Malam tanpa bulan
itu, di penuhi dengan suara tangisan dan teriakan Sora.
Dua minggu setelah kejadian itu Max dan Sora tak
pernah saling mengubungi. Sora tidak berniat menjelaskannya dan Max tidak
berniat meminta maaf pada Sora.
Setelah kejadian itu, Sora bagai mayat hidup
yang selalu memaki topeng. Tersenyum ketika bekerja, menangis ketika dia berada
di apartemennya. Ia tak mau masalah pribadinya akan merusak karirnya sebagai
seorang penulis. Sora tidak mau ada orang lain tahu bahwa ia sedang rapuh. Ia
tidak ingin semua tahu bahwa hatinya sudah hancur. Sekalipun hatinya hancur,
bodohnya, Sora masih begitu mencintai Max dan merindukan kehadiran laki-laki
itu.
Sedangkan Max, dia mencoba untuk fokus untuk
rencana pernikahannya. Dua hari lagi, hari sakral itu akan diselenggarakan. Ia
tidak ingin mengecewakan Victoria. Jika masalah pernikahan sudah selesai, ia
kan menyibukkan diri dengan sesuatu sekalipun itu tidak penting. Max berusaha
menghilangkan bayang-bayang Sora yang berada di dalam kepalanya.
Suatu waktu, ketika sedang melamun, Max bergelut
dengan hati kecilnya. Benarkah Max memang menyetujui pernikahan ini? Benarkah
ini pilihannya? Benarkah ini takdirnya? Max begitu pusing memikirkannya.
Hatinya goyah, dan itu dikarenakan oleh Sora.
Max begitu rindu Sora berada di sampingnya.
Begitu rindu dengan omelan dan kecerewetan Sora. Rindu dengan cerita-cerita
Sora. Ia merindukan Sora. Dan saat itu juga, air mata Max jatuh karena sangat
merindukan teman kecilnya itu.
23
Februari 2014
Max terlihat tampan dengan setelan tuxedo hitam.
Berdiri gagah di depan sebuah altar gereja, menantikan pengantinnya, Victoria. Max
menatap tuxedo-nya sejenak. Tuxedo ini mengingatkannya pada Sora. Max kemudian
menatap para undangan yang sudah hadir. Ibunya sedang berbincang dengan kedua orang
tua Sora. Lalu, dimana Sora? Kenapa belum kelihatan? Apa dia tidak ingin
menghadiri pernikahannya? Ataukah Sora langsung pergi ke Jepang? Max menutup
matanya untuk meredam emosi yang seketika itu muncul.
Max mulai membuka mata ketika pembawa acara mengatakan
bahwa mempelai wanita sudah tiba. Para undangan pun berdiri untuk menyambut
Victoria. Max menatap Victoria yang sudah memakai gaun pengantin. Gaun
pengantin yang pernah dikenakan Sora. Wajah Victoria digantikan dengan wajah
Sora yang sedang tersenyum. Hati Max mencelos, apakah ia benar-benar merindukan
Sora sampai-sampai berkhayal seperti itu? Entahlah, sampai detik ini pun, Max
tidak mengerti perasaannya.
Sora melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Ia tidak boleh terlambat. Sora merutuki dirinya yang bangun kesiangan karena
tidak tidur semalaman memikirkan pernikahan Max dan Victoria. Sesekali ia
menekan klakson saat ada kendaraan yang tidak segera jalan walau lampu sudah
hijau.
Sora melirik sekilas ke arah kaca, berharap make
upnya bisa menutupi matanya yang sembab terlebih menutupi hatinya yang harus
siap melepas seseorang yang dicintainya selama ini. Sora terus melajukan
mobilnya. Pikirannya terlintas wajah Max yang bahagia. Sora amat merindukan
Max. Sora mulai melamun ketika pikiran tentang Max menghinggap di otaknya. Sora
tidak menyadari laju mobilnya yang semakin hilang arah. Tepat saat Sora selesai
melamun, matanya membulat ketika ada sebuah mobil lain yang berkecepatan tinggi
datang dari arah berlawanan, dan langsung menabrak mobil Sora. Mobil Sora
langsung terbentur keras pada pembatas trotoar jalan. Membuat kepala Sora
menatap stir mobil. Membuatnya tak sadarkan diri.
Orang-orang yang melihat langsung membantu
mengeluarkan Sora. Kepala Sora mengucurkan darah segar begitu banyak, wajahnya
terdapat pecahan kaca. Bajunya juga terkena noda darah. Matanya terpejam.
Orang-orang langsung membawa Sora ke dalam sebuah mobil yang diminta warga
untuk mengantar Sora ke rumah sakit terdekat.
Max baru saja menerima uluran tangan Victoria.
Tersnyum kecil ke arah Victoria. Victoria terlihat begitu bahagia dibalik
tiaranya. Pandangan matanya tak pernah lepas dari Max.
Max dan Victoria menatap pendeta yang ada
dihadapan mereka. Tangan Victoria begitu erat memegang lengan Max. Sedangkan
Max, hanya diam dan memandang lurus ke arah sang pendeta.
Sang pendeta memulai dengan mengucapkan sumpah
yang ditujukkan untuk Max. Max dengan lancar dan sedikit susah payah
mengucapkan sumpah pernikahan tersebut. Kemudian sang pendeta bertanya
sekaligus mengajukan sumpah untuk Victoria. Victoria dengan mantap dan lancar
menjawab dan mengucapkan sumpah tersebut.
Sora langsung di bawa ke ruang UGD setelah mobil
yang membawanya sampai di rumah sakit. Matanya masih terpejam. Detak jantungnya
masih terlihat. Dokter beserta para suster langsung segera melakukan
pertolongan pertama pada Sora.
Awalnya, wajah Sora yang terkena kaca
dibersihkan terlebih dahulu. Lalu darah yang mengucur dari kepalanya. Dokter
memasang alat bantu pernapasan pada Sora. Mata Sora sedikit bergerak. Napasnya
tersengal-sengal. Dokter langsung mengambil alat pemacu jantung untuk membuat
jantung Sora agar terus berdetak.
“Max..... Max...”gumam Sora lirih. Salah satu
suster mendengarnya dan melihat tangan Sora yang seperti menggenggam sesuatu
seperti sebuah surat. Suster berusaha mengambil surat itu dari genggaman Sora.
Namun, Sora seolah tak mengijinkan dan terus menggenggam erat surat itu.
“Max...Max... Ma-maafkan aku...
a-aku..mencintai..mu..”gumam Sora terputus-putus namun bisa terdengar oleh
suster yang tadi.
Sang pendeta berkata bahwa Max dan Victoria
sudah resmi menjadi suami istri. Max dan Victoria saling berpandangan lalu
tersenyum.
“Silahkan mempelai pria dipersilahkan mencium
mempelai wanita”ucap Sang pendeta.
Max mulai membuka tiara yang menutupi wajah
Victoria. Victoria hanya menunduk lalu menatap bahagia Max. Max mulai
mencodongkan badannya dan menarik tengkuk Victoria. Mengecup lembut bibir
Victoria dengan bibirnya. Dan melumatnya sebentar.
Napas Sora mulai terputus-putus. Dokter terus
memacu jantung Sora agar tetap berdetak. Namun, semuanya berakhir ketika suara
pendeteksi jantung berbunyi nyaring. Garis yang awalnya bergelombang
perlahan-lahan berubah menjadi lurus. Menandakan jantung Sora yang berhenti
berdetak. Napas Sora pun juga ikut berhenti. Sora menutup mata selama-lamanya
tanpa melihat langsung kebahagiaan Max.
Max mengambil sebuah cincin untuk dia sematkan
di jari manis Victoria. Keduanya tak henti-hentinya tersenyum. Namun, sebelum
Max berhasil menyematkan cincin di jari manis Victoria, sebuah teriakan
mengangetkan Max dan juga para undangan lainnya. Max melihat ke arah meja yang
ditempati oleh ibunya beserta keluarga Sora. Ibu Sora terlihat shock ketika
menerima telepon. Kemudian menangis histeris, detik berikutnya Ibu Sora tak sadarkan
diri.
Ayah Sora langsung mengambil ponsel dan langsung
ditempelkan di telinganya. Mata Ayah Sora membulat, matanya tiba-tiba berkaca.
Beliau segera menutup telepon dan menatap kakak laki-laki Sora yang bertanya
ada apa. Ayah Sora menjelaskan dengan perlahan, membuat kakak laki-laki Sora
ikut terkejut.
Perasaan Max mulai tidak enak. Ia segera
berjalan cepat ke arah keluarga Sora. Tanpa memperdulikan Victoria yang sudah
resmi menjadi istrinya.
“Ada apa?”tanya Max tampak khawatir melihat raut
wajah keluarga Sora. Max memandang wajah kakak laki-laki Sora bernama Reno.
Reno balas menatap mata Max dengan mata yang berkaca-kaca.
“Sora..... Sora mengalami kecelakaan. Dan dia...
dia me-meninggal...”jawab Reno tergagap-gagap. Max tanpa sadar menjatuhkan
cincin pernikahannya mendengar berita itu. Matanya mulai memanas. Ia
menggelengkan kepalanya tidak percaya. Tidak... Sora tidak mungkin
pergi...Tidak.
Reno menjelaskan dimana Sora sekarang. Dan tanpa
pikir panjang, Max berlari cepat meninggalkan gereja tempat pernikahannya. Max
tidak memperdulikan teriakan dari sang pendeta ataupun Victoria. Yang sekarang
ia pikirkan hanya Sora dan Sora. Sora tidak mungkin meninggal. Tidak mungkin.
Mereka semua bohong.
Max berlari terburu-buru di lorong rumah sakit
dimana Sora menghembuskan napas terakhir. Ia bertanya dengan terburu-buru dan
langsung berlari begitu memperoleh informasi.
Langkah Max mulai melambat ketika ia akan
mendekati ruang UGD, ruangan yang membuat ia trauma. Lagi-lagi, ruangan ini
membawa orang-orang yang ia sayang pergi. Setelah ayahnya, sekarang giliran
Sora.
Dengan tangan gemetar Max membuka pintu ruang
UGD. Dimana jasad Sora berada. Jasad Sora memang belum dipindahkan ke kamar
mayat. Dingin. Itu yang Max rasakan ketika berhasil masuk ke ruang UGD. Seperti
hatinya saat ini.
Max menatap kosong kain putih yang menutupi
tubuh Sora. Langkahnya terhenti ketika sudah berada di dekat tubuh Sora. Dengan
perlahan, Max membuka kain putih itu. Membuat wajah Sora yang pucat pasi tanpa
napas terlihat. Hati Max mencelos. Air matanya menetes seketika. Dan Max
kemudian memeluk jasad Sora.
“Sora...Sora..bangun Sora...bilang sama aku,
kamu cuman bercanda agar pernikahanku batal...bangun Sora...”teriak Max pilu.
Max tidak percaya Sora akan meninggalkannya secepat ini. Max belum rela. Ia
masih ingin Sora berada di sampingnya.
“Sora..maafin aku.. maafin aku..aku nggak benci
sama kamu Sora..sama sekali nggak... aku cuman bingung sama perasaan aku
Sora...bangun, aku mohon..”
Air mata Max terus saja mengalir dan mulutnya
tak henti-hentinya memanggil nama Sora. Berharap mata Sora akan terbuka dan
tersenyum padanya, walau kenyataannya tidak mungkin. Max terus memeluk tubuh
Sora yang tak bernyawa.
“Permisi... apa anda yang bernama Max?”tanya
seseorang yang membuat Max menoleh sejenak. Max hanya mengangguk. Max tidak
berusaha menghapus air matanya saat melihat sorang suster berjalan ke arahnya.
Hatinya terlalu sakit menerima semuanya.
“Ini... ada surat untuk anda. Surat ini dari mendiang
nona Sora”jelas suster tersebut dan mengulurkan tangannya untuk menyerahkan
sebuah surat dari Sora. Max dengan gemetar menerima surat itu. Surat yang sudah
sedikit lecek dan terdapat noda darah. Darah Sora.
“Dan, maaf...sebelum nona Sora menghembuskan
napas yang terakhir, nona Sora sempat menggumamkan nama anda. Nona Sora juga
berkata bahwa ia meminta maaf pada anda dan bilang bahwa nona Sora mencintai
anda.”jelas suster itu yang membuat tubuh Max hampir roboh. Bahkan di saat
terakhirnya, Sora masih menyebutkan namanya? Sebegitukah dia mencintaiku? pikir
Max tak percaya.
“Saya tidak ingin ikut campur sebenarnya. Namun,
apapun yang terjadi pada anda dan nona Sora, saya harap anda mau memaafkan nona
Sora agar dia bisa tenang di sana. Kalau begitu saya permisi, Tuan”kata suster
dan pamit keluar dari ruang UGD. Membiarkan Max kembali sendiri di samping
Sora. Matanya menatap kosong surat pemberian suster tadi. Di amplop tersebut
terdapat namanya, berarti surat ini benar-benar untuknya.
Dengan perlahan Max menyobek amplopnya.
Mengeluarkan kertas yang berada di dalamnya. Max membuka kertas tersebut,
kertas yang terdapat darah Sora.
Untuk
Max, teman kecilku yang aku cintai...
Hai
Max, apa kabarmu dua minggu ini? Aku harap kau baik-baik saja.. Kau pasti
sedang sibuk mempersiapkan pernikahanmu dengan Victoria. Kau tahu, aku begitu
merindukanmu selama dua minggu ini
Max...
Aku
ingin meminta maaf padamu..soal perasaanku padamu. Aku tahu kau pasti
membenciku karena perasaanku ini. Aku minta maaf soal itu, tidak seharusnya aku
mempunyai perasaan ini bukan?
Namun,
bagaimana jika hati ini sudah memilihmu, Max? Haruskah aku membohongi hati
kecilku sendiri? Aku mencoba menyangkalnya... namun, tetap saja, aku tak bisa
berbohong bahwa aku jatuh cinta padamu...
Kau
bertanya padaku, sejak kapan aku mencintaimu
Jujur
saja aku tidak tahu, Max. Perasaan ini muncul tiba-tiba tanpa aku tahu kapan
itu mulai datang.
Kau
bertanya padaku, kenapa aku bisa mencintaimu
Aku
juga tidak tahu. Apa setiap jatuh cinta membutuhkan alasan? Bukankah jawaban
dari pertanyaan itu adalah cinta juga? Aku tidak mempunyai alasan untuk
mencintaimu... alasan itu hanya cinta.
Kau
bertanya padaku, kenapa aku menyembunyikannya
Aku
sempat ingin mengatakannya padamu, Max. Namun, aku takut. Aku takut merusak pertemanan
kita. Aku takut kau akan menjauhiku. Aku takut kau tak lagi di sisiku. Apalagi,
saat kau mengatakan bahwa kau telah resmi menjadi kekasih Victoria. Membuatku
harus mundur. Aku tidak mungkin merusak kebahagiaan-mu bersama Victoria. Jika
begitu, bukankah aku terlalu egois Max? Karena itu... lebih baik aku
menyembunyikannya
Kau
bertanya padaku, kenapa aku tidak mengatakannya padamu
Apakah
semua orang yang jatuh cinta harus mengungkapkan kepada orang yang kita cintai?
Tidak bukan? Aku lebih memilih untuk diam. Mencintaimu tanpa perlu kau tahu.
Agar aku tetap di sisimu. Menjadi tempat bersandar untukmu. Bukankah itu hal
terindah? Walau, aku sakit melihatmu dengan Victoria, namun aku bahagia bahwa
kau masih di sisiku, Max. Masih menganggapku sebagai sandaran hidupmu. Sakit?
Memang. Namun, akan terasa lebih sakit jika aku tidak didekatmu sebagai
tempatmu bersandar.
Aku
hanya ingin melihatmu bahagia bersama Victoria. Aku sama sekali tak berniat
menghancurkan hubunganmu dengannya. Karena aku tahu, kelak Victoria-lah yang
akan menjadi tempatmu bersandar.
Tempatmu
meluapkan semuanya. Bukan aku lagi... karena itu aku harus belajar merelakan.
Mungkin, dengan kepergian-ku ke Jepang.
Aku
tahu ini akhirnya. Aku harus menyerahkan posisiku kepada Victoria.
Meski
hati ini sakit, namun setidaknya posisiku terganti oleh orang yang tepat.
Maaf,
jika perasaanku membuatmu begitu membenciku.
Maaf,
jika aku pernah mengatakan bahwa kau begitu egois.
Maaf,
jika perasaanku begitu menjadi beban untukmu.
Maaf,
jika aku selalu menyembunyikannya darimu
Maaf,
jika aku tak pernah mengungkapkannya padamu..
Maafkan
aku, Max
Aku
tak pernah membenci semua kata-katamu kemarin, Max. Aku juga tak menyesal
menjadi sandaran hidupmu. Teruslah tersenyum. Semoga kau bahagia dengan
Victoria, sampai maut memisahkan kalian. Amiin... Jaga Victoria baik-baik, dia
wanita yang tepat untukmu.
Apakah
sekarang kau mulai melihatku? Melihatku sebagai tempatmu bersandar. Aku
mencintaimu selalu dan selalu....
Dari
orang yang selalu merindukan sosokmu
-
Sora –
Max terhuyung setelah selesai membaca surat dari
Sora. Max memeluk tubuh jasad Sora untu kedua kalianya. Max menangis sekali
lagi. Membiarkan, air matanya membasahi wajah pucat Sora.
“Maafkan aku, Sora.. Maafkan aku... aku..aku
beruntung memiliki dirimu.. maafkan aku..”ucap Max terbata-bata.
Max tahu ia begitu kehilangan Sora. Dan
bodohnya, ia baru mengetahui perasaannya yang sesungguhnya kepada Sora. Max
mendekatkan wajahnya ke telinga Sora.
“Aku tahu, ini sangat terlambat... tapi, aku
juga mencintaimu, Sora...sangat mencintaimu...”bisik Max lirih di telinga Sora.
Berharap Sora mampu mendengarnya. Dengan air mata yang masih menetes, Max
mencium kening Sora. Tidak lama kemudian, Max kembali menangis dan memeluk erat
tubuh Sora.
Tanpa disadari Max, Victoria sudah berdiri di
ambang pintu ruang UGD. Menutup mulutnya, agar isakannya tidak terdengar oleh
Max. Victoria tidak pernah melihat Max menangis seperti itu. Hanya di depan
Sora, Max mampu menangis seperti itu. Victoria tentu mendengar ucapan cinta Max,
namun ia tidak marah. Ia tidak berhak marah, meski Max sudah menjadi suaminya.
Karena sejak awal ia tahu, ia hanya penghalang bagi hubungan Max dan Sora.
Dengan langkah perlahan, Victoria menghampiri
Max yang sedang memeluk tubuh Sora. Kedua tangannya merengkuh tubuh Max dan
mengusap bahu Max lembut. Berusaha memberikan energy untuk Max.
Max terkejut dan langsung menolehkan kepalanya.
Tatapannya sulit diartikan ketika ia tahu bahwa Victoria sudah berada di
sampingnya. Memeluknya. Memberikan kekuatan untuknya. Melihat itu, Victoria
hanya tersenyum dan mengangguk. Max langsung memeluk istrinya itu. Menangis
pilu di bahu Victoria. Victoria menepuk-nepuk punggung Max. Victoria ikut
menangis pilu seiring dengan suara tangisan Max yang semakin keras dan terus memanggil
nama Sora.
“Aku
tak akan menyia-nyiakan pengorbananmu, Sora. Aku akan terus membuatnya
tersenyum. Aku tak akan membiarkan Max menangis lagi. Aku janji ini yang
terakhir kau melihatnya menangis. Selamat jalan, Sora. Terima kasih atas
semuanya..”batin Victoria sambil menatap wajah Sora yang
pucat pasi.
Max’s Side
Aku
sama sekali tidak membencinya. Sekalipun aku bisa. Dia, Sora, sangat berarti
bagiku. Dia yang membuatku bangkit. Membuatku tertawa kembali. Membuatku lebih
menghargai hidup. Sora adalah segalanya bagiku...
Aku
hanya marah padanya. Aku marah karena dia menyembunyikan semua ini dariku.
Menutupi semua dengan tatapan dan senyumnya. Tanpa celah, dia berhasil membuatku tidak
mengetahui isi hatinya meski aku sudah berteman lama dengannya.
Aku marah
pada diriku sendiri. Yang selalu berbohong tentang perasaanku yang sebenarnya
kepada Sora. Tanpa dia tahu, aku juga menyembunyikan perasaanku padanya. Aku
juga mencintainya... lebih dari diriku sendiri.
Aku
juga sudah berusaha mengungkapkan semuanya padamu, Sora. Namun, sama sepertimu,
aku terlalu takut. Aku takut kau akan pergi dariku. Dan aku tak bisa lagi
bersandar padamu.
Aku
menelan semua perasaanku padamu. Walau terasa sulit. Sulit ketika melihat
laki-laki lain selain aku yang berusaha mendekatimu. Berusaha bersandar padamu.
Aku tidak rela. Aku egois, memang. Tetapi, aku hanya ingin, aku-lah
satu-satunya laki-laki yang bersandar padamu. Bukan yang lain.
Aku
mulai berusaha menghapus perasaanku. Dengan kehadiran Victoria, aku mulai
bangkit dan menghapus semuanya. Victoria mirip sekali sepertimu, namun Victoria
lebih feminim. Aku menemukan bayanganmu dalam diri Victoria. Membuatku tak bisa
menolaknya. Dan.. aku menjadikannya kekasihku lalu melamarnya. Aku kira ini
jalanku. Takdirku. Namun, ternyata aku salah. Salah satu celah kecil di hatiku
masih menyimpan namamu. Celah kecil yang berdampak besar.
Aku
baru menyadari, bahwa...perasaan ini masih ada untukmu. Meski sudah ada nama
Victoria di sana. Setelah mengetahui fakta kau juga mencintaiku, aku bimbang.
Haruskah aku mengatakan sejujurnya dan membatalkan pernikahanku dengan
Victoria? Ataukah aku harus kembali melupakan semua dan menganggap semua ini
tidak pernah terjadi? Saat itulah, aku membuat keputusan. Aku tetap menikahi
Victoria, memenuhi janji dan tanggung jawabku setelah memintanya menjadi istri
sekaligus ibu dari ana-anakku. Tetapi... aku juga tetap ingin kau menjadi
sandaran hidupku, meski kita tak bisa saling memiliki dan saling mengungkapkan.
Aku
tahu, ini tak adil bagimu. Lagi-lagi, kau yang harus tersakiti. Menjadi korban
karena keegoisanku. Seharusnya, saat itu..kau menamparku atau bahkan
membunuhku, Sora. Aku tak pantas kau cintai sampai detik terakhir... aku
seperti pecundang yang selalu mempermainkan perasaanmu. Maafkan aku, Sora.
Aku bahagia
Tuhan mempertemukan aku denganmu. Aku tak akan pernah menyesal. Mengenal dan
menjadikanmu sebagai sandaran hidupku. Tak ada yang bisa menggantikan posisimu,
Sora. Karena, kau menempati ruang khusus di hati dan kehidupanku. Tidak akan
yang bisa merubahnya. Aku mencintaimu Sora..sangat mencintaimu... Maafkan atas
keegoisanku selama ini. Maafkan aku karena membuatmu merasa tersiksa. Membuatmu
tak bisa merasakan indahnya mempunyai pasangan. Maafkan aku, Sora.
Aku
berjanji akan menjaga Victoria. Mencintainya dengan cara yang berbeda, karena
kau dan Victoria juga berbeda. Aku akan berusaha menyempurnakan kisah cintaku
bersama Victoria. Agar kisah kita yang tak pernah menyampaikan perasaan
masing-masing juga ikut sempurna. Aku akan membahagiakannya. Terima kasih atas
semua yang kau korbankan untukku. Terima kasih, karena sampai detik terakhir,
hanya ada namaku yang ada di hatimu. Terima kasih telah menjaga namaku di
hatimu sampai napasmu berhenti. Terima kasih karena telah mencintai pecundang
sepertiku. Terima kasih atas semuanya, Sora...
Selamat
jalan... semoga kau tenang di sana. Aku mencintaimu.. selalu dan selalu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar